Kebijakan Publik (Inggris:Public
Policy) adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada
tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai
keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh
otoritas politik,
yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak,
umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak.
Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi
negara yang di jalankan oleh birokrasi
pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik,
yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk
mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak.
Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik
dengan hak untuk menarik pajak
dan retribusi;
dan pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan
berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi.
Terminologi kebijakan
publik menunjuk pada serangkaian peralatan pelaksanaan yang lebih luas dari
peraturan perundang-undangan, mencakup juga aspek anggaran dan struktur
pelaksana. Siklus kebijakan publik sendiri bisa dikaitkan dengan pembuatan
kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Bagaimana
keterlibatan publik dalam setiap tahapan kebijakan bisa menjadi ukuran tentang
tingkat kepatuhan negara kepada amanat rakyat yang berdaulat atasnya. Dapatkah
publik mengetahui apa yang menjadi agenda kebijakan, yakni serangkaian
persoalan yang ingin diselesaikan dan prioritasnya, dapatkah publik memberi
masukan yang berpengaruh terhadap isi kebijakan publik yang akan dilahirkan.
Begitu juga pada tahap pelaksanaan, dapatkah publik mengawasi penyimpangan
pelaksanaan, juga apakah tersedia mekanisme kontrol publik, yakni proses yang
memungkinkan keberatan publik atas suatu kebijakan dibicarakan dan berpengaruh
secara signifikan. Kebijakan publik menunjuk pada keinginan penguasa atau pemerintah
yang idealnya dalam masyarakat demokratis merupakan cerminan pendapat umum
(opini publik).
Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan tersebut efektif,
maka diperlukan sejumlah hal: pertama, adanya perangkat hukum berupa
peraturan perundang-undangan sehingga dapat diketahui publik apa yang telah
diputuskan; kedua, kebijakan ini juga harus jelas struktur pelaksana dan
pembiayaannya; ketiga, diperlukan adanya kontrol publik, yakni mekanisme
yang memungkinkan publik mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya
mengalami penyimpangan atau tidak. Dalam masyarakat autoriter kebijakan publik adalah keinginan
penguasa semata, sehingga penjabaran di atas tidak berjalan. Tetapi dalam
masyarakat demokratis, yang kerap menjadi persoalan adalah bagaimana menyerap
opini publik dan membangun suatu kebijakan yang mendapat dukungan publik.
Kemampuan para pemimpin politik
untuk berkomunikasi dengan masyarakat untuk menampung keinginan mereka adalah
satu hal, tetapi sama pentingnya adalah kemampuan para pemimpin untuk
menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa dipenuhi. Adalah naif untuk
mengharapkan bahwa ada pemerintahan yang bisa memuaskan seluruh masyarakat
setiap saat, tetapi adalah otoriter
suatu pemerintahan yang tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi dan
berusaha mengkomunikasikan kebijakan yang berjalan maupun yang akan
dijalankannya. dalam pendekatan yang lain kebijakan publik dapat dipahami
dengan cara memilah dua konsepsi besarnya yakni kebijakan dan publik. terminologi
kebijakan dapat diartikan sebagai pilihan tindakan diantara sejumlah alternatif
yang tersedia. artinya kebijakan merupakan hasil menimbang untuk selanjutnya
memilih yang terbaik dari pilihan-pilihan yang ada. dalam konteks makro hal ini
kemudian diangkat dalam porsi pengambilan keputusan. Charles Lindblom adalah akademisi yang menyatakan bahwa kebijakan
berkaitan erat dengan pengambilan keputusan. Karena pada hakikatnya sama-sama
memilih diantara opsi yang tersedia. Sedangkan terminologi publik memperlihatkan
keluasan yang luar biasa untuk didefinisikan. akan tetapi dalam hal ini
setidaknya kita bisa mengatakan bahwa publik berkaitan erat dengan state, market dan civil society.
merekalah yang kemudian menjadi aktor dalam arena publik. sehingga publik dapat
dipahami sebagai sebuah ruang dimensi yang menampakan interaksi antar ketiga
aktor tersebut.
Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas,
berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan
dalam cara yang berlain-lainan pula:
Sebagai
pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber
satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam
agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan
nilai-nilai yang benar.
Sebagai
penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-sama memiliki
klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih. Pendapat ini seringkali
menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam agama-agama.
Kadang-kadang
juga digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme, yakni upaya untuk mempromosikan
suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan pemahaman yang lebih baik antar
agama-agama atau berbagai denominasi
dalam satu agama.
Dan
sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang merupakan prasyarat
untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama ataupun denominasi
yang berbeda-beda.
Pluralisme budaya yang kini lebih populer dengan istilah ‘multikulturalisme’ adalah sebuah lautan
idiologi yang memperoleh perhatian besar dari kalangan para teoritisi di
Amerika Serikat. Hal ini disebabkan oleh luasnya permasalahan yang harus
diseberangi, mulai dari kebijakan imigrasi, resolusi konflik, dan hukum
internasional, sampai kepada penelitian arkeologi, penciptaan seni dan
kebijakan pendidikan. Multikulturalisme mengibarkan bendera pertukaran dan
pemahaman antar budaya. Istilah ‘multikulturalisme’ menujukkan keanekaragaman
budaya yang memungkinkan untuk hidup bersama, bukan membentuk sine qua non apa artinya hidup sebagai
manusia.
Dalam
tatanan yang agak berbeda, namun memiliki kenyataan yang rasional, multikulturalisme
menjadi pencaharian yang amat panjang mengenai hak keseimbangan yang tidak
tampak antara kebenaran mayoritas dan kebenaran minoritas. Hal ini sering
dipahami sebagai kesenjangan pusat dan daerah, nasionalisme dan etnosentrisme,
sentralisasi dan desentralisasi, yang berakibat terhadap kurang harmonisnya
kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketika telah diakui sebagai gerakan dengan
haknya sendiri, multikulturalisme menawarkan jembatan sejajar bagi
kelompok-kelompok yang berbeda budaya untuk hidup bersama.
Yang perlu
terus diperjuangkan adalah menumbuhkan kesadaran, bahwa kekuatan lokal dapat
sangat efektif untuk bekal memasuki global
village (desa global) maupun global culture (budaya global). Kenyataan
semacam itu hanya mungkin jika tumbuh kesadaran untuk terus-menerus membangun
dialog, baik dalam skala personal maupun komunal, antara yang lokal dan yang
global; antara yang tradisi dengan yang modern; dengan tendensi untuk saling
melengkapi, dan saling memperkaya. Kemampuan dan kesadaran semacam itu hanya
dimiliki oleh mereka yang memiliki kapasitas sebagai knowledgeable artist, seorang seniman yang memiliki kemampuan dan
pengetahuan luas. Seorang seniman yang terus memelihara daya kreasi dan
semangat inovasi, serta membuka diri terhadap berbagai kemungkinan. Siapapun
yang ingin memberikan kontribusi yang berarti bagi kesenian, bagi kehidupan,
dan bagi kemanusiaan secara luas, tak ada pilihan lain kecuali menumbuhkan
kesadaran bahwa pergaulan global adalah sebuah keniscayaan. Kemudian setelah
itu harus memiliki komitmen dan integritas yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kebijakan Publik dalam pertimbangan moral, dalam kerangka tugas fasilitasi, negara berkewajiban
menciptakan basic social structure (John Rawls, A Theory of Justice)
demi menjamin kepentingan semua pihak. Artinya, negara tidak berurusan langsung
dengan kesejahteraan masing-masing individu, melainkan menciptakan kebijakan
publik yang memungkinkan setiap orang mendapat kesempatan yang fair untuk
memenuhi kepentingannya, termasuk kehidupan beragama. Dalam konteks ini, negara
berhak menerapkan UU atau kebijakan publik yang dipandangnya bermanfaat untuk
memelihara tertib sosial. Persoalannya adalah bahwa negara sebagai entitas
politik selalu bersifat pluralistik. Terdapat relasi antara politik dan pluralitas
yang sedemikian eksistensialnya sehingga pemisahan antara keduanya menjadi
absurd. Bahkan pernyataan seperti "Masyarakat politik bersifat
pluralistik" sebetulnya redundan. Adanya kenyataan seperti ini membuat
Rawls berkeyakinan bahwa teori keadilan, yang termanifestasi lewat
kebijakan-kebijakan publik, seharusnya tidak didasarkan pada pandangan agama,
filsafat, atau moralitas yang menjadi anutan eksklusif (Comprehensive moral,
religious, and philosophical doctrines) komunitas tertentu. Alasannya, tidak
ada satu pun agama atau doktrin moral komprehensif yang bisa dianut oleh semua
atau hampir semua orang (Rawls, Political Liberalism). Dalam kaitan dengan itu,
pertimbangan tentang mayoritas, yang juga menjadi bagian dari argumentasi
Salahuddin, tentu saja penting. Tetapi ideologi mayoritas dan minoritas
seharusnya tidak mengaburkan penilaian kita tentang kualitas sebuah keyakinan.
Kelompok agama sekecil apapun bisa sangat yakin akan kebenaran ajarannya
sehingga mengabaikan kelompok seperti ini bisa saja menimbulkan masalah sosial
serius bagi komunitas politik.
Ruang-ruang kehidupan di
atas tubuh bangsa akhir-akhir ini dipenuhi
aneka tindakan yang tidak saja melanggar hukum, tetapi juga melanggar
kepatutan dan nilai-nilai moral, yang dilakukan para eksekutif,
legislatif, yudikatif, maupun masyarakat umum. Mulai dari anggota parlemen yang meminta kenaikan gaji tinggi di tengah keprihatinan, kenaikan harga BBM "gila-gilaan" oleh pemerintah dalam impitan kesulitan hidup, suap miliaran rupiah di Mahkamah Agung di tengah arus reformasi, pertunjukan imoralitas media di tengah situasi krisis. Dalam aneka tindakan itu ruang bagi pertimbangan moral amat sempit sehingga tiap tindakan seakan tidak lagi mempertimbangkan baik-buruk, pantas-tidak pantas, atau arif-tak arif. Seakan ada blank spot bagi pertimbangan moral sehingga aneka tindakan sosial, politik, hukum, dan budaya dibangun oleh fondasi dan pertimbangan moral yang minim, yang menunjukkan rendahnya kualitas moral yang dihasilkan minimalism of moral. Nilai moral. Nilai-nilai moral tidak saja dilanggar dalam aneka tindakan, tetapi lebih parah lagi dipermainkan melalui "permainan moral" (moral game), yang di dalamnya batas baik-buruk, benar-salah, pantas-tak pantas dibuat samar. Dengan demikian, yang sebenarnya baik ditampilkan seolah buruk, yang salah dipertontonkan sekan benar, yang tak pantas diperlihatkan seakan pantas, menggiring pada situasi imoralitas. Minimalisme moral yang berlangsung menyebabkan rendahnya kualitas "kebijakan" yang diambil dalam tindakan sosial, ekonomi, dan politik. Misalnya, kebijakan kenaikan harga BBM di tengah impitan hidup rakyat kecil menunjukkan rendahnya kualitas moral dari kebijakan itu, disebabkan di dalam konsep "kebijakan" inheren muatan nilai-nilai moral ("bijak"), sehingga kebijakan yang tidak "bijak" sama artinya dengan kebijakan tak bermoral minimalist morality.
aneka tindakan yang tidak saja melanggar hukum, tetapi juga melanggar
kepatutan dan nilai-nilai moral, yang dilakukan para eksekutif,
legislatif, yudikatif, maupun masyarakat umum. Mulai dari anggota parlemen yang meminta kenaikan gaji tinggi di tengah keprihatinan, kenaikan harga BBM "gila-gilaan" oleh pemerintah dalam impitan kesulitan hidup, suap miliaran rupiah di Mahkamah Agung di tengah arus reformasi, pertunjukan imoralitas media di tengah situasi krisis. Dalam aneka tindakan itu ruang bagi pertimbangan moral amat sempit sehingga tiap tindakan seakan tidak lagi mempertimbangkan baik-buruk, pantas-tidak pantas, atau arif-tak arif. Seakan ada blank spot bagi pertimbangan moral sehingga aneka tindakan sosial, politik, hukum, dan budaya dibangun oleh fondasi dan pertimbangan moral yang minim, yang menunjukkan rendahnya kualitas moral yang dihasilkan minimalism of moral. Nilai moral. Nilai-nilai moral tidak saja dilanggar dalam aneka tindakan, tetapi lebih parah lagi dipermainkan melalui "permainan moral" (moral game), yang di dalamnya batas baik-buruk, benar-salah, pantas-tak pantas dibuat samar. Dengan demikian, yang sebenarnya baik ditampilkan seolah buruk, yang salah dipertontonkan sekan benar, yang tak pantas diperlihatkan seakan pantas, menggiring pada situasi imoralitas. Minimalisme moral yang berlangsung menyebabkan rendahnya kualitas "kebijakan" yang diambil dalam tindakan sosial, ekonomi, dan politik. Misalnya, kebijakan kenaikan harga BBM di tengah impitan hidup rakyat kecil menunjukkan rendahnya kualitas moral dari kebijakan itu, disebabkan di dalam konsep "kebijakan" inheren muatan nilai-nilai moral ("bijak"), sehingga kebijakan yang tidak "bijak" sama artinya dengan kebijakan tak bermoral minimalist morality.
Imoralitas
bangsa, Ada kaitan erat antara "kualitas
moral" dan "kualitas politik" sebuah masyarakat bangsa.
Sebagaimana dikatakan Alasdair MacIntyre dalam After Virtue (1999), masyarakat
yang kurang atau tidak memiliki kesadaran dan kesepakatan tentang kebajikan
moral (virtue) dan keadilan (justice), mesti kurang atau tidak
memiliki basis masyarakat politik, akan menjadi ancaman bagi masyarakat itu
sendiri. Artinya, masyarakat politik yang dibangun oleh kesadaran moral yang
minimal tidak layak menjadi masyarakat politik. Rendahnya kesepakatan dan
kesadaran moral ini diperlihatkan dua kecenderungan moral berbeda. Pertama,
tindakan melanggar atau melawan moral itu sendiri (a-morality), dengan
melakukan aneka tindakan yang jahat, tak pantas, atau tak arif. Kedua, tindakan
"mempermainkan" prinsip atau nilai-nilai moral sendiri (immorality),
dengan cara memutarbalikkan atau mempermainkan batas-batas moral antara
baik/jahat, benar/salah, atau pantas/tak pantas. Tindakan "amoral"
menaikkan harga BBM, dibungkus dengan iklan-iklan TV seakan ia adalah tindakan
penuh kebajikan-inilah imoralitas. Minimalisme moral terbentuk sebagai akibat
arsitektur moral yang dibangun oleh diri-diri minimal (minimal self),
yaitu aktor-aktor yang bertindak, berbicara, tampil tanpa esensi dan
nilai-nilai dasar moral.
Diri yang minimal ini membangun konsep
diri dan identitas minimal
(minimal identity) dalam dunia imagologi media, yang tidak memiliki
lagi prinsip dasar identitas, yaitu ketetapan, kontinuitas, dan konsistensi. Para pejabat pengambil keputusan kenaikan harga BBM masih tampil tertawa-tawa di layar TV di tengah kemelut kenaikan harga, menunjukkan minimalisme moral seperti ini. Aktor politik minimalis mempunyai perspektif moral yang minim sehingga tidak memiliki kemampuan ekspresi moral yang maksimum, sesuai peran sosial-politik yang dituntut, dalam pengertian, ia tidak mempunyai penghayatan tinggi terhadap aspek moral dari subject matter yang menjadi perhatiannya, sehingga cenderung tidak bertanggung jawab terhadap tindakannya. Diamnya anggota parlemen dalam kenaikan harga BBM menunjukkan rendahnya tanggung jawab moral ini. Minimalisme moral yang telah menulari domain publik, akan menciptakan minimalisme ruang publik, yaitu aneka ruang publik, yang aneka tindakan, peristiwa dan representasi di dalamnya terlepas sama sekali dari pertimbangan moral. Ruang publik itu kini menjadi ruang bukan untuk "pembelajaran moral" bagi publik, tetapi ruang yang di dalamnya berbagai tindakan amoral dan imoral dipertunjukkan kepada publik.
(minimal identity) dalam dunia imagologi media, yang tidak memiliki
lagi prinsip dasar identitas, yaitu ketetapan, kontinuitas, dan konsistensi. Para pejabat pengambil keputusan kenaikan harga BBM masih tampil tertawa-tawa di layar TV di tengah kemelut kenaikan harga, menunjukkan minimalisme moral seperti ini. Aktor politik minimalis mempunyai perspektif moral yang minim sehingga tidak memiliki kemampuan ekspresi moral yang maksimum, sesuai peran sosial-politik yang dituntut, dalam pengertian, ia tidak mempunyai penghayatan tinggi terhadap aspek moral dari subject matter yang menjadi perhatiannya, sehingga cenderung tidak bertanggung jawab terhadap tindakannya. Diamnya anggota parlemen dalam kenaikan harga BBM menunjukkan rendahnya tanggung jawab moral ini. Minimalisme moral yang telah menulari domain publik, akan menciptakan minimalisme ruang publik, yaitu aneka ruang publik, yang aneka tindakan, peristiwa dan representasi di dalamnya terlepas sama sekali dari pertimbangan moral. Ruang publik itu kini menjadi ruang bukan untuk "pembelajaran moral" bagi publik, tetapi ruang yang di dalamnya berbagai tindakan amoral dan imoral dipertunjukkan kepada publik.
Semakin menjadi-jadinya pertunjukan tak
pantas, tak arif dan tak sopan dalam media elektronik (sebagai ruang publik
virtual) menunjukkan minimalisme ruang publik itu—minimalism of public
sphere. Bangsa tanpa malu Julia Kristeva, dalam Black Sun: Depression and
Melancholia (1989), melukiskan "manusia minimalis" sebagai manusia
yang terjatuh ke kondisi ketidakbermaknaan hidup atau kehampaan eksistensi (the
meaningless of Being), yaitu manusia yang terjerembab ke titik nadir kehidupan,
sehingga tidak ada lagi yang tersisa untuk dibanggakan, yang menjadikannya malu
menghadapi realitas hidup sendiri. Namun, malu menghadapi hidup tidak berarti
mampu mengangkat hidup ke arah yang lebih tinggi, bermartabat, atau bermakna.
Kondisi minimalis menyebabkan ia hanya mampu melihat hidup sekadar tempat untuk
bertahan (survival), dan tidak mementingkan "kualitas" hidup sendiri
(termasuk kualitas moral), sehingga ia rela menjual moralitas bangsa, demi
sebuah kedudukan atau keuntungan. Orang yang melakukan tindakan amoral,
semestinya malu terhadap diri sendiri, sebagai cermin tanggungjawab sebagai
makhluk sosial. Karena "malu" adalah citra cermin (mirror image)
dari moralitas. Bila perlu ia rela meletakkan jabatan, sebagai manifestasi
tanggungjawab. Tetapi saat "rasa malu" tidak lagi mempunyai ruang
hidup, "rasa-tak-bermalu" menjadi landasan dari tiap tindakan sosial,
politik, ekonomi, hukum dan budaya. Kondisi minimalisme moral yang mengendap
dan mengkristal dalam tiap diri anak bangsa akan membentuk "budaya
minimalis". Minimalisme moral menjadi kebiasaan hidup, bahkan jalan hidup,
yang menjatuhkan bangsa ini ke jurang degradasi moral. Inilah bangsa yang
menjalani kehidupan harian yang tanpa rasa malu, tanpa tanggungjawab, dan tanpa
beban moral, yang membangun budaya bangsa minimalis-culture of the minimalist.
Tugas berat bangsa ke depan adalah mengubah watak moralitas minimalis menjadi
watak "moralitas maksimalis", yaitu bangsa yang manusia-manusianya di
segala lapisan tidak saja melakukan tindakan tidak melanggar hukum, tetapi juga
tidak melanggar kepatutan moral. Maksimalitas moral hanya dapat dicapai melalui
upaya-upaya perubahan kultural tanpa lelah guna membuang kerak-kerak
minimalisme di atas tubuh bangsa ini: imoral, tak bertanggung jawab, pura-pura,
kontradiktif, berwajah ganda, ironis, dan hyperealis-morality maximalist.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan teman-teman bisa syaring dan memberikan komentar dari tulisan kami..... jika ada coretan yang salah atau kurang tepat bisa disyaringkan disini saya hanya manusia biasa yang baru belajar.. tanks