Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi
bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa Indonesia,
yang terdiri atas berbagai suku dan etnis dengan latar belakang bahasa
berbeda.Di-Indonesia kesepakatan Bahasa persatuan sebagai Bahasa Indonesia
telah dibentuk
sejak Sumpah Pemuda (secara de Facto), yang menjadikan
Bahasa Indonesia sebagai Bahasa yang sah sebagai Bahasa pemersatu. Jadi ketika
kita menggunakan Bahasa Indonesia jelas sudah kesepakatan kita untuk menjadikan
Bahasa Indonesia sebagai Bahasa pemersatu yang ter-realisasi hingga detik ini,
dengan harapan setiap warga Indonesia di-kedepannya dapat berkomunikasi satu
sama lain tanpa mengalami kesulitan dengan seluruh manusia yang berada
di-wilayah Indonesia. Akhirnya, setiap kali kita menggunakan Bahasa Indonesia
kita akan teringatkan oleh satu identitas atau peran dari diri kita yaitu : Aku
ini Orang Indonesia. Dan setiap kali kita berbahasa Indonesia kita telah
mewujudkan salah satu impian Tunggal Ika (Persatuan) dalam Ke-Bhinekaan (Kemajemukan)
kita, karena Bhineka adalah sebuah kenyataan sedangkan Tunggal Ika adalah suatu
harapan yang terus-menerus sedang di- usahakan realisasinya dalam bidang apapun
dan persepsi manapun, kelak harus dikonsensuskan.
Namun belakangan ini ada cara pemakaian
Bahasa yang sedang populer yang berlangsung dimana-mana dan dilakukan oleh
semua orang dari semua kalangan yaitu : Penggunaan Bahasa Indonesia campur
aduk. Sekarang ini orang sedang Hobi untuk mengkombinasikan Bahasa Indonesia
mereka dengan bahasa asing, terutama dengan Bahasa Inggris, seperti kata-kata
“Fuck banget gitu lho” “You punya barang berapa” “so what gitu lho” “sampai
ketemu later ya!” “saya sudah katakan sebelumnya kalau emotion itu selalu
terpisah dengan cognition, thats why its very hard to reach konklusi dari kedua
hal tersebut.” Dalam argument, dalam bincang-bincang santai, dalam televisi,
bahasa Indonesia tipe mutant ini selalu keluar. Mengapa bisa begitu?
Sebetulnya hal ini sudah terjadi
sejak dulu, namun fenomena krisis tersebut baru meledak hari ini. Sewaktu
Soekarno berdebat dengan salah satu aktifis feminis, dia menggunakan Bahasa
Indonesia, Belanda dan Sunda secara campur aduk sehingga membuat orang-orang
yang ada disekitarnya jadi bingung. Dan ketika itu Sjahrir menegur “tolong jangan
gunakan 3 bahasa sekaligus ketika berpendapat, karena banyak peserta yang
bingung. Lagipula kan Indonesia sudah ada Bahasa pemersatu, kenapa tidak
gunakan itu saja?” Soekarnopun minta maaf lantas meneruskan musyawarah dengan
menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kebiasaan seperti itupun bisa
kita temukan dalam catatan seorang Nasionalis seperti Soe Hok Gie (Dalam
bukunya Catatan seorang Demonstran), yang biasa mencampurkan Bahasa Indonesia
dengan Bahasa Inggris.
Sebetulnya mudah sekali untuk
mencari penyebabnya, Soekarno menggunakan Bahasa Belanda karena Bahasa Belanda
ketika itu dijadikan sebagai Bahasa Akademis oleh sekolah-sekolah tingkat
tinggi yang memang dikelola oleh bangsa Belanda. Dan banyaknya para Intelektual
Indonesia yang belajar di Belanda pada saat itu telah mengesankan adanya
identitas “intelek” bagi mereka yang mahir Bahasa Belanda (sebuah Halo Efek),
juga ada kesan “Belanda sebagai pusat kegiatan akademik puncak” yang akhirnya
memberikan efek pada kesan-kesan pusat ilmu ataupun peradaban tinggi pada
identitas Negara Belanda dan seluruh kandungan yang ada didalamnya (Pakaian,
Bahasa, gaya hidup, makanan, selera musik, dsb).
Begitupun juga kehadiran Belanda
yang saat itu sebagai Negara Adikuasa bagi Bangsa Indonesia menyelipkan
identitas superior bagi Bahasa Belanda. Karena Bahasa Belanda adalah Bahasa
yang digunakan oleh kaum yang menjajah kita, perintah-perintahPeranan Bahasa Indonesia dalam Mencerdaskah
Bangsa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia
adalah bahasa pemersatu bangsa Indonesia, yang terdiri atas berbagai suku dan
etnis dengan latar belakang bahasa berbeda.Di-Indonesia kesepakatan Bahasa
persatuan sebagai Bahasa Indonesia telah dibentuk
sejak Sumpah Pemuda (secara
de Facto), yang menjadikan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa yang sah sebagai
Bahasa pemersatu. Jadi ketika kita menggunakan Bahasa Indonesia jelas sudah
kesepakatan kita untuk menjadikan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa pemersatu
yang ter-realisasi hingga detik ini, dengan harapan setiap warga Indonesia
di-kedepannya dapat berkomunikasi satu sama lain tanpa mengalami kesulitan
dengan seluruh manusia yang berada di-wilayah Indonesia. Akhirnya, setiap kali
kita menggunakan Bahasa Indonesia kita akan teringatkan oleh satu identitas
atau peran dari diri kita yaitu : Aku ini Orang Indonesia. Dan setiap kali kita
berbahasa Indonesia kita telah mewujudkan salah satu impian Tunggal Ika
(Persatuan) dalam Ke-Bhinekaan (Kemajemukan) kita, karena Bhineka adalah sebuah
kenyataan sedangkan Tunggal Ika adalah suatu harapan yang terus-menerus sedang
di- usahakan realisasinya dalam bidang apapun dan persepsi manapun, kelak harus
dikonsensuskan.
Namun
belakangan ini ada cara pemakaian Bahasa yang sedang populer yang berlangsung
dimana-mana dan dilakukan oleh semua orang dari semua kalangan yaitu :
Penggunaan Bahasa Indonesia campur aduk. Sekarang ini orang sedang Hobi untuk
mengkombinasikan Bahasa Indonesia mereka dengan bahasa asing, terutama dengan
Bahasa Inggris, seperti kata-kata “Fuck banget gitu lho” “You punya barang
berapa” “so what gitu lho” “sampai ketemu later ya!” “saya sudah katakan
sebelumnya kalau emotion itu selalu terpisah dengan cognition, thats why its
very hard to reach konklusi dari kedua hal tersebut.” Dalam argument, dalam
bincang-bincang santai, dalam televisi, bahasa Indonesia tipe mutant ini selalu
keluar. Mengapa bisa begitu?
Sebetulnya
hal ini sudah terjadi sejak dulu, namun fenomena krisis tersebut baru meledak
hari ini. Sewaktu Soekarno berdebat dengan salah satu aktifis feminis, dia
menggunakan Bahasa Indonesia, Belanda dan Sunda secara campur aduk sehingga
membuat orang-orang yang ada disekitarnya jadi bingung. Dan ketika itu Sjahrir
menegur “tolong jangan gunakan 3 bahasa sekaligus ketika berpendapat, karena
banyak peserta yang bingung. Lagipula kan Indonesia sudah ada Bahasa pemersatu,
kenapa tidak gunakan itu saja?” Soekarnopun minta maaf lantas meneruskan
musyawarah dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kebiasaan
seperti itupun bisa kita temukan dalam catatan seorang Nasionalis seperti Soe
Hok Gie (Dalam bukunya Catatan seorang Demonstran), yang biasa mencampurkan
Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris.
Sebetulnya
mudah sekali untuk mencari penyebabnya, Soekarno menggunakan Bahasa Belanda
karena Bahasa Belanda ketika itu dijadikan sebagai Bahasa Akademis oleh
sekolah-sekolah tingkat tinggi yang memang dikelola oleh bangsa Belanda. Dan
banyaknya para Intelektual Indonesia yang belajar di Belanda pada saat itu
telah mengesankan adanya identitas “intelek” bagi mereka yang mahir Bahasa
Belanda (sebuah Halo Efek), juga ada kesan “Belanda sebagai pusat kegiatan
akademik puncak” yang akhirnya memberikan efek pada kesan-kesan pusat ilmu
ataupun peradaban tinggi pada identitas Negara Belanda dan seluruh kandungan
yang ada didalamnya (Pakaian, Bahasa, gaya hidup, makanan, selera musik, dsb).
Begitupun
juga kehadiran Belanda yang saat itu sebagai Negara Adikuasa bagi Bangsa
Indonesia menyelipkan identitas superior bagi Bahasa Belanda. Karena Bahasa
Belanda adalah Bahasa yang digunakan oleh kaum yang menjajah kita,
perintah-perintah
yang membudaki kita keluar
dari bahasa itu, umpatan merendahkan kepada bangsa Indonesia juga keluar dari
bahasa itu, maka menggunakan Bahasa Belanda akan secara tidak sadar membuat
kita berfantasi menjadi seorang Belanda. Seorang yang superior, intelek, kuat
dan yang lain sebagainya. Dari sekian Bahasa yang dikuasai Soekarno pada waktu
itu, mengapa ia memilih Bahasa Belanda? hal itu adalah untuk menandakan bahwa
“Saya ini pinter lho” “Saya ini kaum akademisi” dan banyak hal lain.
Dalam
“Impian Pamanku (my uncle dream)” Karangan Fyodor Dostoyevsky disini disibak
kebiasaan buruk orang-orang Russia dikala itu terutama dari kalangan kaum
bangsawannya, menggunakan Bahasa Perancis dan Russia secara campur aduk untuk
menunjukkan identitas keninggratan, kesopanan, kehalusan, selera, kelas sosial,
menunjukkan kesan “ber-adab” kesan “intelek” dan peningkatkan gengsi. Kata-kata
selamat tinggal dengan Au Revoir dan memuji kecantikan wanita dengan
bahasa-bahasa Perancis, atau mengucapkan permintaan maaf atau teguran ramah
dengan bahasa Perancis, biasa digunakan untuk ajang menjelaskan identitas diri
sekaligus (pemalsuan/pseudo) peningkatan Identitas dan penandaan status kelas
sosial, lalu mengapa harus Bahasa Perancis? Karena dikala itu, Perancis menjadi
pusat literatur. Tempat para pemikir, seniman, sastrawan yang dipercaya
memiliki budaya lebih tinggi dari mereka.
Dan kalau
kita lihat TV sekarang ini, kita akan melihat fenomena-fenomena bahasa campur
aduk seperti itu, contoh saja kita bisa melihat lagak Tantowi Yahya yang seakan
sangat bangga sekali dengan Bahasa Inggrisnya yang sempurna. Nadine, lebih
senang memakai Bahasa Inggris daripada Bahasa Indonesia ketika diwawancara di
kontes Miss Universe, padahal banyak dari pemenang kontes tersebut yang
menggunakan penerjemah karena tidak menguasai Bahasa Adimanusia kontemporer
atau Bahasa Inggris. Dan Thukul, si cerdas itu, dibodoh-bodohi dengan
ketawa-ketawaan para tamu dan penonton semata-mata karena tidak bisa Bahasa
Inggris, diberikan kesan tidak berpendidikan dan berpikiran sederhana,
dikesankan menyandang budaya yang lebih rendah (Kampungan/Ndeso) padahal orang
seperti dia kemampuan sosial dan penguasaan bahasanya bisa dikatakan melebihi
rata- rata, kreatifitasnya dalam mengaitkan pembicaraan dan langsung dengan
mudah menyimpulkannya mengisyaratkan kecerdasannya. Dan kerendahan hati juga
kehidupan pribadinya yang prihatin tidakkah menggambarkan kebijakan prinsip
hidup Jawa kuno yang mencari ke-prihatinan (bukan menghindari) dibandingkan
dengan mengejar kerakusan pemuasaan syahwat?
Dan yang
lucu lagi, di friendster, ada orang yang mencoba untuk menjelaskan profile- nya
dengan bahasa Inggris. Memasukkan hobi berkemahnya dan menulisnya dengan
Campang yang sebetulnya adalah camping, hobi bertualangannya dengan Adnventure,
dia ingin menetapkan kelas sosialnya dengan Bahasa Inggris padahal dia tidak
bisa Bahasa Inggris, bukankah ini sangat menyedihkan?. Atau juga didalam
televisi serial Olah-raga basket, pembawa acaranya sungguh membuat kita mual.
“Yo Brother and sister, this is our new-commer is in the house, so how is it Mc
“Dog” Lohan? Bagaimana Kabar my brother belakangan ini? My brother and yang in
the corner corner baik-baik saja kan?” Inilah disebabkan adanya pengertian
bahwa Bahasa Inggris menandakan kultur dan kelas sosial yang tinggi, dan ada
pemahaman bahwa Bahasa Indonesia adalah Bahasa Awam atau bahasa Kaum kebanyakan
yang memiliki Kultur dan latarbelakang yang lebih rendah daripada Bahasa
Inggris (Bahasa Massif, bukan elit). Sebuah dualitas antara Bahasa Kebanyakan
(budaya rendah) dengan Bahasa Kelas sosial Tinggi (Budaya Tinggi). Ini berasal
dari sebuah perasaan malu dan perasaan inferior terhadap identitas golongan dan
diri yang melahirkan penghambaan yang akut yang terjadi tanpa kita sadari
terhadap kultur barat. Akhirnya untuk menutupi rasa rendah diri terhadap
identitas kita, kita berusaha untuk berpura-pura atau meng-imitasikan diri
sebagai orang Barat, agar ada perasaan sesaat bahwa kita ini beda dari Bangsa
Indonesia yang lain kita ini Bangsa Indonesia yang menguasai adat istiadat
barat yang lebih tinggi, lebih ber-adab, lebih rasional dan canggih.
Dan banyak
kawan-kawan yang bila sedang dalam argument mengembalikan keterdesakan mereka
dengan kata mutiara atau merubah bahasa yang mereka gunakan dengan bahasa
Inggris, atau Jerman atau Perancis, bahwa mereka itu cerdas karena bisa
berbicara dalam bahasa orang-orang cerdas. Mereka mengkomunikasikan bahwa
mereka itu orang yang menguasai kultur tinggi, bukan orang sembarangan, mereka
masuk kedalam kelas sosial elite. Sindiran terbaik untuk ini adalah memalui
pemeranan salah satu pejabat kita di satu dunia lain didalam TV, yang ketika
terdesak karena tidak tau, untuk melindungi diri dari takut kelihatan bodoh dia
berbicara Bahasa Inggris untuk menyelamatkan mukanya, “That’s Right my brother”
sindiran maut dari Timnya Olga Lidya yang imut dan cantik itu bagus sekali
untuk tempat berkaca salah satu pejabat PLN yang diwawancara di Q TV yang
menggunakan Bahasa Inggris Indonesia campur aduk sekedar untuk membuat kita
bingung akan ke- bobrokannya. Seharusnya kita menggunakan Bahasa untuk membuat
sebanyak-banyaknya orang mengerti bukan untuk membuat sebanyak-banyaknya orang
tidak mengerti, bahasa memiliki identitas dari maknanya bukan dari jenis
bahasanya, hanya anak kecil yang tau akan bobroknya ilusi peradaban ini
belajarlah dari mereka.
Karena itu
dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam mengkomunikasikan
Teknologi Informasi, perbincangan politik di televisi, hiburan dan berbagai hal
lain, bukan sebagian kecil yang bisa meng-aksesnya tapi seluruh masyarakat
Indonesia yang bisa mengerti Bahasa Indonesia bisa memahaminya, bisa memahami
fenomena politik yang sekarang sedang berlangsung, bisa memahami lawakan yang
sedang dibicarakan, bisa memahami wacana yang sedang diberikan, jadi tidak ada
elitisasi dan segmentasi kelas dalam Bahasa, dan orang tidak harus lagi malu
untuk bangga terhadap Bahasanya sendiri (dengar itu Nadine?), karena itu adalah
Bahasa kita maka kita harus menerima dan berbangga dengannya dengan sepenuh
hati.
Aku
tercerahkan untuk menulis ini dan mengkaitkannya dikarenakan kata-kata Gus Dur
“Daripada Pusing memikirkan 90 persen orang Indonesia bisa berbahasa Inggris
agar dapat menguasai Teknologi Informasi, kenapa tidak mengubah bahasa
Teknologi Informasi menjadi Bahasa Indonesia agar seluruh orang bisa Paham” dia
bisa berbicara seperti ini karena dia melihat adanya hubungan antara mampu
berbahasa Inggris dengan kemajuan, dia mampu menyibak ilusi tersebut. Karena
itu ilusi segementasi kelas dan nilai intelektualitas dari Bahasa adalah sebuah
kabut yang harus kita sibak dan enyahkan, agar kita bisa memperlakukan Bahasa
seperti apa adanya Bahasa itu layak diperlakukan. Bukankah dengan membudayakan
bangga berbahasa Indonesia dimanapun dalam diskursus apapun secara tidak
langsung kita juga akan mencerdaskan bangsa kita? Dan bila kita tidak membudayakannya
sama saja dengan mengisolasi satu jaringan informasi agar tidak bisa di-akses
secara massal karena Bahasa UFO-nya yang asing itu? Dengan kata lain sama saja
dengan membiarkan kebodohan massal berlangsung karena kesulitan meng-akses
informasi yang ada karena kelainan Bahasa. Kalau tetap kuat berpegang pada
Bahasa Inggris aku usulkan begini saja, kita jadikan saja Bahasa Inggris
sebagai Bahasa pemersatu.
Dalam
kehidupan sehari-hari mulai dari interaksi intrapersonal, interpersonal, maupun
yang meluas pada kehidupan berbangsa dan bertanah air, bahasa memegang peran
utama. Peran tersebut meliputi bagaimana proses mulai dari tingkat individu
hingga suatu masyarakat yang luas memahami diri dan lingkungannya. Sehingga
pada saat inilah fungsi bahasa secara umum, yaitu sebagai alat untuk
berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi
sosial, memberikan perannya.
Dalam
mengembangkan diri, seorang individu akan berusaha untuk beradaptasi dengan
bahasa yang ada di lingkungannya. Penelitian Chomsky tentang gen dan bahasa
mengungkapkan bahwa seorang individu memiliki kemampuan alami untuk memahami
bahasa secara umum yang akan beradaptasi untuk lebih spesifik memahami bahasa
yang digunakan di lingkungannya. Proses adaptasi bahasa dalam seorang individu
memandunya untuk mengidentifikasikan dirinya pada kelompok yang memiliki bahasa
yang sama dengan dirinya. Maka dari itu proses alamiah tersebut perlahan
membentuk ikatan sosial antara individu dengan individu yang lain dalam sebuah kelompok
masyarakat.
Proses
pengidentifikasian kelompok yang terus berjalan dalam individu membentuk suatu
bentuk warna kepribadian. Hal tersebut sesuai dengan kesimpulan Prof. Anthony
melalui kajian semantik dan etimologi kata mengenai bahasa yang merupakan
cerminan dari watak,sifat, perangai, dan budi pekerti penggunanya.
Berbeda
dengan proses adaptasi bahasa pada individu, dalam tingkatan masyarakat proses
adaptasi berjalan lebih kompleks, dengan waktu yang lebih panjang pula.
Masyarakat yang merupakan sekumpulan dari individu-individu dalam suatu wilayah
tertentu pada awalnya akan membuat kesepakatan-kesepakatan dalam mengungkapkan
makna serta berkomunikasi. Selanjutnya proses ini secara terus menerus
mengalami perubahan sehingga membentuk suatu sistem, atau yang disebut Hugo
Warami sebagai sistem kesepakatan- kesepakatan. Sistem kesepakatan dalam
masyarakat ini bukanlah suatu hasil akhir melainkan terus mengalami perubahan
sesuai dengan kealamiahan dari berdinamikanya masyarakat beserta individu dalam
merespon ransang dari luar. Proses yang berlangsung dalam masyarakat tersebut
akan membentuk karakteristik masyarakat seperti warna kepribadian dalam
individu.
Salah satu
bahasa yang digunakan oleh sebagian masyarakat di dunia adalah bahasa Melayu.
Dalam perkembangannya bahasa Melayu berhasil menjadi bahasa yang paling
berpengaruh di Asia Tenggara dan satu dari lima bahasa dunia yang mempunyai
jumlah penutur terbesar. Melayu merupakan bahasa nasional satu-satunya dari
empat Negara: Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Di
Indonesia, bahasa Melayu telah menjadi bahasa yang penting. Peran bahasa Melayu
meliputi bahasa persatuan, bahasa nasional, dan bahasa pengantar dalam
pendidikan. Menurut Koentjaraningrat, pemilihan bahasa Melayu menjadi bahasa
Indonesia secara historis dikarenakan enam hal. Pertama, berkembangnya suasana
kesetiakawanan yang mencapai momentum puncak yang menjiwai pertemuan antara
pemuda cendekiawan Indonesia yang penuh idealisme pada tanggal 28 Oktober 1928.
Kedua, adanya anggapan bahwa bahasa Melayu sejak lama merupakan lingua franca,
bahasa perdagangan, bahasa komunikasi antarorang Indonesia yang melintas batas
sukubangsa, dan bahasa yang digunakan untuk penyiaran agama. Ketiga, adanya
pengaruh media massa dalam bahasa Melayu. Keempat, berkembangnya kebiasaan
penggunaan bahasa Melayu dalam rapat-rapat organisasi gerakan nasional. Kelima,
tidak adanya rasa khawatir dalam diri warga suku non- Jawa terhadap risiko
terjadinya dominasi kebudayaan dari sukubangsa mayoritas. Keenam, karena para
cendekiawan Jawa sendiri mengecam struktur bahasanya sendiri.
Disepakatinya
bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia menjadi landasan kokoh
bagi terbentuknya integrasi dan identifikasi sosial/nasional. Sebagai salah
satu bentuk fisik dari identitas nasional, bahasa Indonesia memiliki potensi
untuk mempersatukan rakyat Indonesia. Potensi tersebut dikarenakan bahasa
Indonesia memiliki fungsi sebagai bahasa nasional, yaitu sebagai lambang
identitas nasional, alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda
kebudayaan, adat istiadat, dan bahasanya; serta sebagai alat perhubungan
antardaerah dan antarbudaya.
Tantangan pembentukan
identitas nasional melalui bahasa di Indonesia terdiri dari
tantangan internal dan
eksternal. Secara internal bahasa persatuan ini harus menghadapi
realita bahwa Indonesia
terdiri dari berbagai bahasa dan budaya. Sehingga dalam proses sosialisasinya
bahasa Indonesia harus menuntaskan kegamangan antara menampilkan bahasa
Indonesia sebagai bahasa yang dapat digunakan seluruh masyarakat tanpa
melenyapkan bahasa daerah. Hal ini diperumit dengan suatu kondisi dimana
beberapa bahasa daerah terancam punah diakibatkan sosialisasi bahasa Indonesia
yang tidak mengindahkan perawatan bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang harus
dilestarikan. Sehingga pada daerah yang masih tertinggal, bahasa ibu
ditinggalkan karena tidak lebih prestise dibandingkan bahasa Indonesia. Di satu
sisi bahasa Indonesia juga harus menghadapi realita bahwa penuturnya sendiri
sangat sedikit yang mau mempelajari kaidah bahasa yang baik dan benar.
Menurut
pendapat Amran Halim (lihat Kompas, 8 Maret 1995, halaman 16) setelah 67 tahun
BI dikukuhkan sebagai bahasa persatuan, situasi kebahasaan ditandai oleh dua
tantangan. Tantangan pertama, yakni perkembangan bahasa Indonesia yang dinamis,
tetapi tidak menimbulkan pertentangan di antara masyarakat. Pada saat bersamaan
bangsa Indonesia sudah mencapai kedewasaan berbahasa. Sekarang tumbuh
kesadaraan secara emosional bahwa perilaku berbahasa tidak terkait dengan masalah
nasionalisme. Buktinya, banyak orang yang lebih suka memakai bahasa Asing,
demikian Amran Halim.
Tantangan
kedua, yakni persoalan tata istilah dan ungkapan ilmiah. Tantangan kedua ini
yang menimbulkan prasangka yang tetap diidap ilmuwan kita yang mengatakan bahwa
bahasa Indonesia miskin, bahkan kita dituduh belum mampu menyediakan sepenuhnya
padanan istilah yang terdapat dalam banyak disiplin ilmu, teknologi, dan seni.
Menurut Moeliono (1991:15) prasangka itu bertumpu pada pendirian apa yang tidak
dikenal atau diketahui, tidak ada dalam bahasa Indonesia.
Selain
tantangan internal seperti di atas, bahasa Indonesia juga harus menghadapi
gempuran dari bahasa asing. Hal yang serupa dengan tantangan internal mengenai
bahasa daerah, bahasa Indonesia oleh sebagian masyarakat dipandang tidak lebih
prestise dibandingkan dengan bahasa asing. Hasilnya penggunaan kaidah bahasa
Indonesia tidak banyak menjadi sorotan penting. Percampuran antara bahasa
Indonesia dan bahasa asing menjadi sesuatu yang lumrah. Bahasa gaul mulai
merebak di masyarakat, bahkan yang berpendidikan tinggi hingga pejabat dan
media massa. Jika hal ini terus dibiarkan maka bahasa Indonesia akan menjadi
minoritas dan punya istilah “tamu di rumahnya sendiri”.
Saat ini
tantangan terhadap bahasa Indonesia, baik internal maupun eksternal, merupakan
hal yang tidak hanya mengancam eksistensi bahasa Indonesia. Konsekuensi ancaman
tersebut tidak hanya sebatas mengancam eksistensi bahasa Indonesia, namun
menjadi sangat penting karena berkaitan dengan bahasa sebagai identitas dan
kepribadian bangsa. Jika dihayati dari prosesnya, awalnya masyarakat merubah
gaya bahasanya lalu mempengaruhi tingkah lakunya sehingga akan mengalami
kegamangan norma dan kepribadian berkaitan dengan identitas sosial. Fenomena tingginya
angka kriminalitas dan kenakalan remaja menjadi sebuah bukti dari kegamangan
tersebut. Hal itu tidak terlepas dari pandangan manusia sebagai substansi dan
manusia sebagai makhluk yang mempunyai identitas (Verhaar, 1980: 11).
Kemudian
kegamangan kepribadian tersebut membuat kesadaran bersatu meluntur. Tantangan
disintegrasi bangsa semakin tinggi. Fenomena tawuran antar desa hingga antar
suku merupakan salah satu jawaban yang dapat menyingkap kurang mengakarnya
peran bahasa Indonesia sebagai penyatu bangsa. Dalam konteks kesadaran bersatu
inilah kita dapat belajar dari kepemimpinan Orde Baru dalam mengopinikan
“persatuan” meskipun caranya yang represif harus di evaluasi.
Selama ini
usaha untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sudah banyak
dilakukan. Hal ini terlihat dari mulai membaiknya badan perencanaan bahasa yang
ada di Indonesia. Bahkan badan tersebut berjejaring dengan badan perencanaan di
Malaysia dan Brunei, karena sama-sama berbahasa Melayu, yang sudah melakukan
berbagai penelitian dan melakukan perencanaan internasional. Namun usaha
tersebut masih dalam tataran struktural dan politis, belum merambah “akar
rumput” yang merupakan basis kultural dan
mengakar. Kesadaran dari
pemerintah, media, dan masyarakat terhadap konsep bahasa persatuan masih
rendah. Usaha para budayawan dan ahli bahasa Indonesia belum didukung penuh
oleh kebijakan strategis dan merakyat dari pemerintah. Ditambah lagi peran
media yang semakin luas tidak diimbangi oleh usaha sosialisasi bahasa Indonesia
yang baik dan benar membuat masyarakat kini lebih merespon stimulasi dari asing
serta semakin jauh dari kaidah berbahasa yang benar. Bukannya masyarakat harus
tertutup dari pengaruh asing, namun kemampuan untuk menyaring informasi, gaya
bahasa, dan perilaku inilah yang menjadi pokok masalah terjadinya kegamangan
identitas.
Dinamika
antara potensi dan tantangan atau realita yang dialami bahasa Indonesia saat
ini merupakan suatu data yang dapat dijadikan sumber prediksi bagi eksistensi
bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di masa depan. Dalam konteks bahasa
Melayu, Collins menyatakan bahwa peran bahasa Melayu akan semakin berkembang,
baik di kawasan Asia Tenggara maupun di belahan bumi yang lain. Di luar Asia
Tenggara bahasa Melayu dipelajari di delapan Negara Eropa dan dua Negara di
Amerika. Jumlah penutur bahasa Melayu dalam waktu dekat ini akan terus
meningkat. Hal ini akan meningkatkan prestise di kalangan para penuturnya yang
kemudian akan mempengaruhi sikapnya untuk lebih positif terhadap bahasa Melayu.
Terlebih menurut prediksi dari Collins, pengaruh bahasa Inggris belum begitu
jelas di Asia Tenggara pada masa depan.
Pengaruh
secara global bahasa Melayu tersebut tentunya akan juga berpengaruh di
Indonesia meskipun akan membutuhkan proses yang sangat lama. Pengaruh tersebut
berkaitan juga tingkat kesadaran pemerintah, media, dan masyarakat Indonesia
tentang pentingnya bahasa Indonesia sebagai pemersatu. Kesadaran ini tidak
hanya pada bagian luar pemahaman saja, namun selayaknya menjadi penghayatan dan
pengidentifikasian seluruh masyarakat sebagai satu bangsa.
PERAN BAHASA INDONESIA DALAM
JURNALISTIK
Bahasa
jurnalistik adalah bahasa yang digunakan oleh pewarta atau media massa untuk
menyampaikan informasi. Bahasa dengan ciri-ciri khas yang memudahkan
penyampaian berita dan komunikatif (Tri Adi Sarwoko, 2007).
Selama ini
masih banyak orang yang menganggap bahasa jurnalistik sebagai perusak terbesar
bahasa Indonesia. Mereka menganggap bahasa jurnalistik sebagai bahasa lain yang
tidak pantas dilirik.
Anggapan itu ada benarnya,
karena wartawan memang kadang-kadang menggunakan bahasa
atau kata-kata pasaran yang
melenceng dari Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Media
massa jugalah yang “memasarkan” kata-kata yang agak –maaf- kasar atau jorok
kepada masyarakat, sehingga masyarakat yang dulu terbiasa dengan bahasa yang
agak halus dan sopan (eufemisme), kini menjadi akrab dengan kata-kata kasar dan
blak-blakan, seperti sikat, bakar, bunuh, darah, bantai, rusuh, rusak,
provokatif, perkosa, penjara, pecat, jarah, serta obok-obok dan esek-esek.
Selain
itu, media massa juga kerap mengutip kata-kata yang salah, seperti bentuk
kembar sekedar-sekadar, cidera-cedera, film-filem, teve-tivi-TV. Ada media yang
memakai risiko, ada yang resiko. Ada yang memakai sekedar, ada yang sekadar.
Ada pula media massa yang
dengan tanpa dosa menuliskan kata ganti kita, padahal yang
seharusnya adalah kata kami.
Penghilangan
imbuhan dalam judul berita juga kerap salah, misalnya Amerika Bom Irak, padahal
semestinya Amerika Mengebom Irak, atau Tentara Israel Tembak Anak Palestina,
yang seharusnya Tentara Israel Menembak Anak Palestina.
Bagi para
penulis dan jurnalis (wartawan), bahasa adalah senjata, dan kata-kata adalah
pelurunya. Mereka tidak mungkin bisa memengaruhi pikiran, suasana hati, dan
gejolak perasaan pembaca, pendengar, atau pemirsanya, jika tidak menguasai
bahasa jurnalistik dengan baik dan benar.
Itulah sebabnya, para
penulis dan jurnalis harus dibekali penguasaan yang memadai atas
kosakata, pilihan kata,
kalimat, paragraf, gaya bahasa, dan etika bahasa jurnalistik.
Seorang
jurnalis tidak boleh menggunakan senjata untuk membunuh orang, tetapi harus
menggunakan senjata itu untuk mencerdaskan dan memuliakan masyarakat, serta
membela dan menjunjung tinggi kehormatan negara dan bangsa (Dad Murniah, Harian
Sinar Harapan, 2007)
KREATIVITAS DALAM BERBAHASA
Beberapa
puluh tahun lalu dan mungkin hingga kini, banyak sastrawan yang iri melihat
kebebasan penggunaan bahasa dalam dunia jurnalistik atau di media massa,
sehingga tak heran kalau banyak sastrawan yang terjun menjadi wartawan.
Dunia
jurnalistik dan dunia sastra memang sama-sama menuntut kreativitas dalam
berbahasa. Gorys Kerap, salah seorang pakar bahasa, pernah mengatakan bahwa
dalam bahasa jurnalistik ada kemerdekaan pengungkapan seperti halnya bahasa
sastra. Kebebasan, kemerdekaan, dan kreativitas itulah yang membuat bahasa
jurnalistik masa kini lebih kaya warna dan gaya.
Bahasa jurnalistik tidak
lagi menjadi bahasa yang kering dan hanya bertugas menyampaikan
informasi, tetapi juga
menyajikan bahasa yang enak dan indah.
Wartawan atau penulis berita
dituntut bukan cuma memilih kata yang tepat agar penyampaian
berita tepat sasaran,
melainkan juga agar menimbulkan efek bunyi yang enak (eufoni).
BAHASA JURNALISTIK
Telah
dikemukakan di atas bahwa bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan oleh
pewarta atau media massa untuk menyampaikan informasi. Bahasa dengan ciri-ciri
khas yang memudahkan penyampaian berita dan komunikatif.
Apa ciri
khas atau sifat bahasa jurnalistik itu? Rosihan Anwar, salah seorang wartawan
senior, mengatakan, bahasa jurnalistik mempunyai sifat khas, yaitu singkat,
padat, sederhana, jelas, lugas, dan menarik.
Jus
Badudu, pakar bahasa, mengatakan, bahasa jurnalistik itu harus sederhana, mudah
dipahami, teratur, dan efektif. Sederhana dan mudah dipahami artinya
menggunakan kata dan struktur kalimat yang mudah dimengerti pemakai bahasa
umum. Teratur artinya setiap kata dalam kalimat sudah ditempatkan sesuai dengan
kaidah. Efektif artinya tidak bertele-tele tetapi juga tidak terlalu berhemat
yang dapat mengakibatkan makna yang dikandung menjadi kabur.
Bahasa
Indonesia yang digunakan dalam dunia jurnalistik lebih mendekati bahasa
sehari-hari, sedangkan bahasa Indonesia yang digunakan dalam penulisan buku
sangat dijaga agar sesuai benar dengan kaidah dan keresmian bahasa baku.
SUMBANGAN MEDIA MASSA
Perlu
diketahui dan dipahami bahwa media massa bukan sekadar dunia informasi,
melaihkan juga dunia bahasa. Ketika seseorang berniat menerjuni profesi
jurnalis atau wartawan, maka sesungguhnya ia juga berniat menjadi seorang
pejuang bahasa.
Seorang
jurnalis atau wartawan, setiap hari bergelut dengan kata dan kalimat. Mereka
juga dituntut berkreasi dalam mengolah kata agar tulisannya tidak membuat jenuh
pembaca. Tak heran kalau kemudian sering dijumpai “kata-kata baru” di media
cetak dan media elektronik.
Kata heboh, Anda, gengsi,
dan santai, adalah sebagian kata yang disumbangkan media massa
dalam perkembangan bahasa
Indonesia.
Kata heboh
pertama kali diperkenalkan dalam kosakata bahasa Indonesia dalam harian Abadi
pada tahun 1953, oleh wartawan Mohammad Sjaaf. Kata Anda diperkenalkan oleh
Sabirin, seorang perwira TNI AU dan pertama kali dimuat pada harian Pedoman,
tanggal 28 Februari 1957. Kata gengsi diperkenalkan oleh Rosihan Anwar pada
tahun 1949.
Kata ulang pemuda-pemudi dan
saudara-saudari juga merupakan hasil kreativitas para
wartawan atau jurnalis.
Kongres
Bahasa pertama pada tahun 1938 di Solo, Jawa tengah, juga merupakan hasil
gagasan dan perjuangan dua wartawan muda ketika itu, yakni Soemanang dan
Soedarjo Tjokrosisworo.
Peranan Bahasa Indonesia
dalam Dunia Jurnalistik
Sebagai
bahasa pemersatu, bahasa Indonesia tentu saja sangat berperan dalam dunia
jurnalistik. Bayangkan kalau setiap media massa menggunakan bahasa daerah
lengkap dialek masing- masing.
Namun
demikian, untuk memperkaya khasanah bahasa dan untuk tetap menghidupkan bahasa
daerah, banyak media massa yang memuat rubrik tertentu dengan menggunakan
bahasa daerah, bahkan media massa televisi pun mulai membuat acara khusus
dengan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya.
Bahasa
Indonesia juga berperan menjembatani ketidaktahuan atau kekurang-pahaman
masyarakat Indonesia akan bahasa asing dalam media massa di Indonesia. Apa
jadinya kalau kalau semua berita, film, atau siaran dari mancanegara disajikan
atau ditayangkan begitu saja tanpa pengantar bahasa indonesia oleh media massa
kepada masyarakat Indonesia.
Sebagai
tambahan, kiranya perlu saya sampaikan di sini, bahwa bahasa jurnalistik adalah
sebuah laras bahasa, yaitu bahasa yang digunakan oleh kelompok profesi atau
kegiatan dalam bidang tertentu. Selain laras bahasa jurnalistik, juga ada laras
bahasa sastra, ekonomi, dan keagamaan.
Sebagai
sebuah laras bahasa yang tak dapat berdiri sendiri, bahasa jurnalistik harus
bersandar pada ragam bahasa, yakni ragam bahasa baku, karena hanya bahasa
bakulah yang pemakaiannya luas dan memiliki ciri kecendekiaan. Itulah sebabnya,
bahasa jurnalistik wajib memelihara bahasa Indonesia.
Ragam
bahasa baku ingin menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa modern yang setara
dengan bahasa lain di dunia, sedangkan laras bahasa jurnalistik memerlukan
pengungkapan diri secara modern
.
Peran Bahasa Indonesia dan
Daerah dalam pembangunan otonomi
Pendahuluan
Bahasa Indonesia memiliki peran penting di dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Peran tampak di dalam kehidupan bermasyarakat di
berbagai wilayah tanah tumpah darah Indonesia. Komunikasi perhubungan pada
berbagai kegiatan masyarakat telah memanfaatkan bahasa Indonesia di samping
bahasa daerah sabagai wahana dan piranti untuk membangun kesepahaman,
kesepakatan dan persepsi yang memungkinkan terjadinya kelancran pembangunan
masyarakat di berbagai bidang Bahasa Indonesia sebagai milik bangsa, dalam
perkembangan dari waktu ke waktu telah teruji keberadaannya, baik sebagai
bahasa persatuan maupun sebagai resmi negara. Adanya gejolak dan kerawanan yang
mengancam kerukunan dan kesatuan bangsa Indonesia bukanlah bersumber dari
bahasa persatuannya, bahasa Indonesia yang dimilikinya, melainkan bersumber
dari krisis mutidimensional terutama krisis ekonomi, hukum, dan politik, serta
pengaruh globalisasi. Justeru, bahasa Indonesia hingga kini menjadi perisai
pemersatu yang belum pernah dijadikan sumber permasalahan oleh masyarakat
pemakainya yang berasal dari berbagai ragam suku dan daerah. Hal ini dapat
terjadi, karena bahasa Indonesia dapat menempatkan dirinya sebagai sarana komunikasi
efektif, berdampingan dan bersama-sama dengan bahasa daerah yang ada di
Nusantara dalam mengembangkan dan melancarkan berbagai aspek kehidupan dan
kebudayaan, termasuk pengembangan bahasa-bahasa daerah. Dengan demikian bahasa
Indoensia dan juga bahasa daerah memiliki peran penting di dalam memajukan
pepmbangunan masyarakat di dalam
Berbagai aspek kehidupan. Peran bahasa Indoensia dan
bahasa daerah semakin penting di dalam era otonomi daerah. Penyelenggaraan
otonomi daerah yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta
masyarakat, akan mendorong dan menumbuhkan prakarsa dan kreativitas daerah. Hal
ini tercermin dari kewenangan-kewenangan yang telah diserahkan ke daerah dalam
wujud otonomi yang luas, nyata, dan tanggung jawab. Dengan prinsip tersebut
diharapkan dapat mengakselarasi pencapaian tujuan yang telah direncanakan dalam
pembangunan masyarakat.
Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua
kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan
bidang lain yang bersifat lintas kabupaten/kota. Kewenangan kabupaten/kota
meliputi bidang pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan,
pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan
hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Pengembangan Bahasa, termasuk
sastra berhubungan dengan kewenangan pemerintahan di Bidang Pendidikan dan
Kebudayaan, baik yang dimiliki pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Kewenangan pemerintah pusat berupa penyediaan standar, pedoman, fasilitas dan
bimbingan dalam rangka pengembangan bahasa dan sastra. Sedangkan kewenangan
untuk penyelenggaraan kajian sejarah dan nilai tradisionil serta pengembangan
bahasa dan budaya daerah merupakan bagian dari kewenangan provinsi. Oleh karena
bahasa dan sastra daerah pada dasarnya berkembang dari masyarakat di desa-desa,
kampung-kampung serta kelompok masyarakat tradisional yang secara kewilayahan
berada dalam wilayah kabupaten/kota, maka mulai di kabupaten/kota dilakukan
kegiatan operasional pengembangan bahasa dan sastra daerah. Di tingkat nasional
sudah ada Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional sebagai lembaga yang
mendapat mandat dari pemerintah untuk melakukan perencanaan bahasa. Pada
tingkat provinsi dan kabupaten/kota dibentuk lembaga perpanjangan
penyelenggaraan Pusat Bahasa berupa balai atau kantor bahasa yang berfungsi
untuk membina dan mengembangkan bahasa dan sastra. Penyelenggaraan kegiatan
pada lembaga bahasa di tingkat provinsi/kabupaten ini terkait langsung dengan
rangkaian penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan. Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Era Otoda Pembinaan dan pengembangan bahasa pada era otoda seharusnya
semakin mendapat tempat yang penting, karena era otoda memerlukan, sumberdaya
manusia yang berkualitas, akselarasi manajemen yang tepat, masyarakat yang
peduli, dan keterhubungan pihak lain secara komunkatif. Keseluruhan unsur tadi
berkaitan langsung dengan bahasa sebagai piranti utama dalam berinteraksi.
Perubahan sistem pemerintahan negara dari sentralistik menjadi desentralistik
yang diwujudkan melalui sistem otonomi daerah memberikan peluang dan tantangan
bagi upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Bahasa mengalami
perubahan sejalan dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat penuturnya.
Bahasa digunakan sebagai sarana
ekspresi dan komunikasi dalam kegiatan kehidupan manusia, seperti dalam bidang
kebudayaan, ilmu, dan teknologi.. Seiring dengan perkembangan zaman, kebudayaan
dan ilmu serta teknologi berkembang sedemikian rupa. Bahasa Indonesia pun
berkembang mengikuti perkembangan tersebut. Pesatnya perkembangan kebudayaan,
ilmu dan teknologi di dunia Barat membawa pengaruh terhadap perkembangan bahasa
Indonesia, khususnya di bidang kosakata/ peristilahan. Di samping itu, luas
wilayah pemakaian (tersebar dipulau-pulau yang secara geografis terpisahkan
dengan oleh laut) dan besarnya jumlah penutur yang berlatar belakang (bahasa
daerah dan kebudayaannya), memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan di
tiap-tiap daerah yang lama kelamaan akan berkembang menjadi dialek tersendiri.
Oleh karena itu, perlu diadakan kontak terus menerus antara daerah yang satu
dan daerah yang lain untuk menjaga keutuhan bahasa Indonesia. Perkembangan
bahasa Indonesia itu harus diarahkan menuju ragam bahasa baku. Selanjutnya, ada
beberapa dasar pembinaan bahasa Indonesia yang diharapkan memberikan semangat
dan motivasi tinggi dalam membina dan mengembangkan bahaasa Indoensia. Landasan
tersebut bersifat keagamaan (religius), kesejarahan (historis, politis),
kecendekian (intelektual), bersifat kemasyarakatan (sosial). Dengan landasan
tersebut, pembinaan bahasa Indonesia yang dilakukan pada era otonomi daerah
menjadi kuat, tidak tergoyahkan oleh kondisi yang bersifat memecah-belah, dan
dapat dijadikan referensi dalam menjaga kesatuan dan persatuan demi keutuhan
bangsaIndonesia. Landasan yang bersifat keagamaan adalah bahwa bahasa Indonesia
itu karunia Tuhan yang harus kita syukuri. Membina dan mengembangkan bahasa
Indonesia berarti mensyukuri karunia Tuhan. Sebaliknya, mengabaikan
pemeliharaan bahasa Indonesia adalah sama dengan tidak mensyukuri karunia
Tuhan. Landasan kedua bersifat kesejarahan, yaitu bahasa Indonesia merupakan
amanat para
pejuang atau pahlawan bangsa. Butir ke-3 Sumpah pemuda
tahun, 1928 menyatakan bahwa Kami putra-putri Indonesia, menjungjung bahasa
Persatuan, bahasa Indonesia.. Demikian pula Pasal 36 UUD 1945 menyatakan bahwa
Bahasa Negara adalah bahasa Indonesia. Generasi penerus harus mengamalkan
amanat itu. Menghargai bahasa Indonesia dengan jalan “menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar dalam suasana resmi” berarti mengamalkan amanat
para pahlawan tersebut. Dasar berikutnya adalah landasan kecendekiaan. Bahasa
Indonesia adalah bahasa yang mampu mengemban konsep, mutu, dan dan keilmiahan,
karena diemban oleh intelektualisme para cendekiawan atau orang terpelajar,
bukan awam. Kemampuan intelektual orang terpelajar jauh lebih tinggi daripada
orang awam. Pengalaman intelektual mereka pun jauh lebih banyak daripada orang
awam. Atas dasar itu, bahasa Indonesia orang terpelajar harus lebih bermutu
daripada orang awam. Bahasa Indonesia beragam. Dasar ini juga merupakan
landasan dalam pembinaan bahasa Indonesia, karena secara sosial, penutur bahasa
Indonesia berasal dari berbagai strata dan kelompok masyarakat. Ragam bahasa
Indonesia di antaranya: ragam baku, nonbaku, ragam ilmiah, dan ragam lainnya.
Fokus dan Arah Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Pada prinsipnya,
pembinaan dan pengembangan bahasa adalah upaya dan penyelenggaraan kegiatan
yang ditujukan untuk memelihara dan mengembangkan bahasa Indonesia, bahasa
daerah, dan pengajaran bahasa asing. ini supaya dapat memenuhi fungsi dan
kedudukannya. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia difokuskan melalui usaha-usaha
pembakuan agar tercapai pemakaian yang cermat, tepat dan efisien dalam
berkomunikasi. Sehubungan dengan itu, perlu diciptakan kaidah (aturan) dalam
bidang ejaan, kosakata/istilah, dan tata bahasa. Dalam usaha pembinaan bahasa
Indonesia perlu diarahkan dan didahulukan pada bahasa Indonesia ragam tulis
karena coraknya lebih tetap dan batas cakupannya lebih jelas. Di samping itu,
pembakuan lafal perlu dilakukan sebagai pegangan guru, penyiar televisi/radio
dan masyarakat luas. Untuk kepentingan praktis, telah diambil sikap bahwa: (1)
pembinaan terutama difokuskan kepada penuturnya, yaitu masyarakat pemakai
bahasa Indonesia, dan (2) pengembangan terutama difokuskan kepada bahasa dalam
segala aspeknya. Pembinaan dan pengembangan bahasa mencakup dua arah, yaitu (1)
pengembangan bahasa mencakup dua masalah pokok (masalah bahasa dan masalah
kemampuan/sikap) dan (2) pembinaan yang mencakup dua arah (masyarakat luas dan
generasi muda). Pengembangan aspek bahasa meliputi ragam bhasa lisan dan bahasa
tulis. Ragam bahasa lisan mencakup lafal, tata bahasa, dan kosakata/istilah,
dan ejaan. Dalam ragam bahasa tulis yang digarap lebih dahulu adalah ejaan,
dengan peresmian penggunaan Ejaan Yang Disempurnakan oleh Presiden Republik
Indonesia tahun 1972. Kemudian, disusul dengan usaha pembakuan di bidang
kosakata/istilah yang pemakaiannya diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan pada tahun 1975. Di samping itu, dilakukan pula pengolahan kembali
Kamus Umum Bahas Indonesia karangan M.J.S. Poewadarminta oleh Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa yang terbit mulai cetakan V tahun 1976. Kemudian, pada
tahun 1988 terbit Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan disempurnakan dalam edisi
kedua yang terbit pertama tahun 1991. Usaha pembakuan dalam bidang tata bahasa
secara resmi telah dirintis dengan diadakannya Seminar Penyusunan Tata Bahasa
Baku Bahasa Indonesia 1988. Dalam hal pengembangan kemampuan dan sikap, telah
ditempatkan dasar yang kuat, yaitu dicantumkannya di dalam GBHN bahwa pembinaan
dan pengembangan bahasa dilakukan dengan mewajibkan peningkatan mutu pengguna
bahasa Indonesia sehingga penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar
dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Di samping itu, telah dan terus
dilakukan pengembangan kemampuan dan sikap positif pemakai bahasa Indonesia
dengan media televisi dan radio. Ada pula upaya penyuluhan kebahasaan secara
langsung bagi para pelaku ekonomi dan pembangunan, baik ditingkat pusat maupun
ditingkat daerah, di berbagai propinsi. Dengan demikian, diharapkan akan diperoleh
keseragaman kaidah dan penerapannya dalam berbagai laras bahasa (jenis
penggunaan bahasa) sehingga tujuan pengembangan bahasa-salah satu tujuan itu
adalah pembakuan bahasa dapat dicapai. Pada era otoda ini, pembinaan bahasa
tetap mengacu kepada sikap kebijakan pembinaan bahasa, yaitu ditujukan kepada
masyarakat penutur bahasa. Pembinaan ini menakup dua arah, yaitu vertikal dan
horizontal. Arah vertikal dengan sasaran pembinaan kepada generasi muda,
termasuk pelajar dan mahasiswa, yang merupakan generasi penerus. Arah
horizontal dengan sasaran pembinaan kepada generasi sekarang, yaitu masyarakat
luas minus generasi muda. Pada masyarakat generasi sekarang diutamakan
pembinaan ragam bahasa tulis, karena merekalah yang akan mewariskan penggunaan
bahasa yang baik dan benar kepada generasi penerus. Berdasarkan paparan
tersebut di atas, dapat dipahami bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa pada
era otoda sekarang ini meliputi usaha pengembangan bahasa (yang salah satu
sasarannya berupa pembakuan bahasa) dan usaha meningkatkan kemampuan dan sikap
penutur bahasa Indonesia agar dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik
dan benar. Beberapa Masalah Pembinaan
Bahasa Indonesia Era Otoda Pembinaan bahasa Indonesia
sudah lama dilakukan, bahkan sejak zaman Pejangga Baru (1933). Tetapi, sampai
sekarang masih banyak kendala yang dihadapi dan dialaminya, khususnya di era
otoda. Masalah utama adalah persoalan sikap terhadap pembinaan bahasa
Indonesia. Ada sebagian masyarakat pengguna bahasa Indonesia yang meremehkan bahasa
Indonesia. Sikap mereka terhadap pembinaan bahasa Indoensia acuh tak acuh.
Mereka menilai: (1) Pelaksanaan pembinaan bahasa Indonesia kurang menarik, (2)
Hasilnya kurang nyata, (3) Bahasa Indonesia dianggap mudah. Karena dianggap
mudah, orang Indonesia tidak perlu mempelajari bahasa Indonsia. Persoalan sikap
tersebut semakin menjadi masalah, karena sikap negatif itu bukan berasal dari
kelompok awam, melainkan kelompok cendekia atau terpelajar. Mereka itu sebagian
adalah pelaku utama dan pemegang peranan penting dalam roda otonomi daerah Jika
orang awam bersikap negatif terhadap bahasa Indonesia, itu dapat dipahami.
Tetapi, jika orang terpelajar bersikap seperti orang awam itu, tampaknya tidak
berterima. Masalahnya, orang awam berbeda dengan orang terpelajar. Orang awam
tidak banyak berkaitan dengan dunia pemikiran. Kegiatannya terbatas pada
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan seorang terpelajar berkaitan
erat dengan dunia pemikiran. Pemikiran-pemikirannya melahirkan konsep-konsep,
perencanaan, dan kebijakan-kebijakan. Karena orang terpelajar pencetus konsep,
perencana kegiatan, dan pembuat kebijakan, orang terpelajar selalu bergulat
dengan masalah mutu sumberdaya manusia. Dalam pergulatan itulah bahasa
Indonesia tampil sebagai piranti yang penting karena bahasa Indonesia merupakan
bahasa resmi, bahasa negara. Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dipahami
bahwa orang terpelajar (kita semua) pada hakikatnya berkepentingan dengan
pembinaan bahasa Indonesia. Bahkan orang terpelajar dengan sendirinya menjadi
pembina Bahasa Indonesia. Sebabnya, sekali lagi, orang terpelajar terlibat
dalam dunia pemikiran. Sebab lain, orang terpelajar sering terlibat dalam
suasana resmi, suasana kenegaraan, dan yang terakhir, orang terpelajar
berpengaruh kuat terhadap orang lain (anak buah, bawahan). Alasan tersebut di
atas yang menjadikan kelompok terpelajar, kita semua, harus berperan sebagai
pembina bahasa Indonesia. Konsekuensi logisnya adalah mau tak mau, kita
haruslah menjadi contoh, teladan, anutan, model bagi orang lain. Setidaknya,
bahasa Indonesia kita harus bermutu. Apakah bahasa Indonesia yang bermutu itu?
Bahasa Indonesia yang bermutu ialah bahasa Indoensia yang bersih dari
kesalahan, baik kesalahan kaidah, kesalahan logika, maupun kesalahan budaya.
Kesalahan kaidah sudah sering dibahas. Jadi pembicaraannya tidak perlu untuk
sementara. Kesalahan logika tampak pada penggunaan pola seperti: “Dalam seminar
itu membicarakan masalah pengentasan kemiskinan”. “Beberapa seniman diberikan
penghargaan”, dan yang lain. Kesalahan budaya terlihat pada penggunaan
kata-kata asing seperti oke, sorry, point, complain, no comment, coffee
morning, dan yang lain. Begitu pula penggunaan pola-pola seperti: “tujuan
daripada pembangunan”, “banyak teori- teori”, “tidak masalah”, dan yang lain.
Pola-pola seperti itu merupakan kesalahan budaya yang melahirkan kesalahan
kaidah. Bacaan Halim, Amran. 1976. Politik bahasa Nasional II. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Halim, Amran. 1979. Pembinaan Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kridalaksana,
Harimurti. 1976. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende: Nusa Indah. Mawardi,
Oentarto S. Peran Bahasa dan Sastra Daerah dalam Memperkukuh Ketahanan Budaya
Bangsa. Makalah dalam Kongres Bahasa Indonesia VIII, Jakarta, 14 – 17 Oktober
2003 Sugono, Dendy. 1999. Berbahasa Indoensia dengan Benar. Jakarta: Puspa
Swara. Sumowijoyo, G. Susilo. 2001. Pos Jaga. Bahasa Indonesia. Surabaya:
Unipress Unesa ABSTRAK Bahasa Indonesia memiliki peran penting di dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Peran tampak di dalam kehidupan
bermasyarakat di berbagai wilayah tanah tumpah darah Indonesia. Komunikasi
perhubungan pada berbagai kegiatan masyarakat telah memanfaatkan bahasa
Indonesia di samping bahasa daerah sabagai wahana dan piranti untuk membangun
kesepahaman, kesepakatan dan persepsi yang memungkinkan terjadinya kelancran
pembangunan masyarakat di berbagai bidang Bahasa Indonesia sebagai milik
bangsa, dalam perkembangan dari waktu ke waktu telah teruji keberadaannya, baik
sebagai bahasa persatuan maupun sebagai resmi negara. Adanya gejolak dan
kerawanan yang mengancam kerukunan dan kesatuan bangsa Indonesia bukanlah
bersumber dari bahasa persatuannya, bahasa Indonesia yang dimilikinya,
melainkan bersumber dari krisis mutidimensional terutama krisis ekonomi, hukum,
dan politik, serta pengaruh globalisasi. Justeru, bahasa Indonesia hingga kini
menjadi perisai pemersatu yang belum pernah dijadikan sumber permasalahan oleh
masyarakat pemakainya yang berasal dari berbagai ragam suku dan daerah. Hal ini
dapat terjadi, karena bahasa Indonesia dapat menempatkan dirinya sebagai sarana
komunikasi efektif, berdampingan dan bersama-sama dengan bahasa daerah yang ada
di Nusantara dalam mengembangkan dan melancarkan berbagai aspek kehidupan dan
kebudayaan, termasuk pengembangan bahasa-bahasa daerah. Dengan demikian bahasa
Indoensia dan juga bahasa daerah
memiliki peran penting di dalam memajukan pepmbangunan
masyarakat di dalam berbagai aspek kehidupan. Peran bahasa Indoensia dan bahasa
daerah semakin penting di dalam era otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi
daerah yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta
masyarakat, akan mendorong dan menumbuhkan prakarsa dan kreativitas daerah. Hal
ini tercermin dari kewenangan-kewenangan yang telah diserahkan ke daerah dalam
wujud otonomi yang luas, nyata, dan tanggung jawab. Dengan prinsip tersebut
diharapkan dapat mengakselarasi pencapaian tujuan yang telah direncanakan dalam
pembangunan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan teman-teman bisa syaring dan memberikan komentar dari tulisan kami..... jika ada coretan yang salah atau kurang tepat bisa disyaringkan disini saya hanya manusia biasa yang baru belajar.. tanks