Selasa, 31 Juli 2012

PERANAN BAHASA INDONESIA DALAM MENCERDASKAH BANGSA INDONESIA


Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa Indonesia, yang terdiri atas berbagai suku dan etnis dengan latar belakang bahasa berbeda.Di-Indonesia kesepakatan Bahasa persatuan sebagai Bahasa Indonesia telah dibentuk
sejak Sumpah Pemuda (secara de Facto), yang menjadikan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa yang sah sebagai Bahasa pemersatu. Jadi ketika kita menggunakan Bahasa Indonesia jelas sudah kesepakatan kita untuk menjadikan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa pemersatu yang ter-realisasi hingga detik ini, dengan harapan setiap warga Indonesia di-kedepannya dapat berkomunikasi satu sama lain tanpa mengalami kesulitan dengan seluruh manusia yang berada di-wilayah Indonesia. Akhirnya, setiap kali kita menggunakan Bahasa Indonesia kita akan teringatkan oleh satu identitas atau peran dari diri kita yaitu : Aku ini Orang Indonesia. Dan setiap kali kita berbahasa Indonesia kita telah mewujudkan salah satu impian Tunggal Ika (Persatuan) dalam Ke-Bhinekaan (Kemajemukan) kita, karena Bhineka adalah sebuah kenyataan sedangkan Tunggal Ika adalah suatu harapan yang terus-menerus sedang di- usahakan realisasinya dalam bidang apapun dan persepsi manapun, kelak harus dikonsensuskan.

Namun belakangan ini ada cara pemakaian Bahasa yang sedang populer yang berlangsung dimana-mana dan dilakukan oleh semua orang dari semua kalangan yaitu : Penggunaan Bahasa Indonesia campur aduk. Sekarang ini orang sedang Hobi untuk mengkombinasikan Bahasa Indonesia mereka dengan bahasa asing, terutama dengan Bahasa Inggris, seperti kata-kata “Fuck banget gitu lho” “You punya barang berapa” “so what gitu lho” “sampai ketemu later ya!” “saya sudah katakan sebelumnya kalau emotion itu selalu terpisah dengan cognition, thats why its very hard to reach konklusi dari kedua hal tersebut.” Dalam argument, dalam bincang-bincang santai, dalam televisi, bahasa Indonesia tipe mutant ini selalu keluar. Mengapa bisa begitu?
Sebetulnya hal ini sudah terjadi sejak dulu, namun fenomena krisis tersebut baru meledak hari ini. Sewaktu Soekarno berdebat dengan salah satu aktifis feminis, dia menggunakan Bahasa Indonesia, Belanda dan Sunda secara campur aduk sehingga membuat orang-orang yang ada disekitarnya jadi bingung. Dan ketika itu Sjahrir menegur “tolong jangan gunakan 3 bahasa sekaligus ketika berpendapat, karena banyak peserta yang bingung. Lagipula kan Indonesia sudah ada Bahasa pemersatu, kenapa tidak gunakan itu saja?” Soekarnopun minta maaf lantas meneruskan musyawarah dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kebiasaan seperti itupun bisa kita temukan dalam catatan seorang Nasionalis seperti Soe Hok Gie (Dalam bukunya Catatan seorang Demonstran), yang biasa mencampurkan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris.
Sebetulnya mudah sekali untuk mencari penyebabnya, Soekarno menggunakan Bahasa Belanda karena Bahasa Belanda ketika itu dijadikan sebagai Bahasa Akademis oleh sekolah-sekolah tingkat tinggi yang memang dikelola oleh bangsa Belanda. Dan banyaknya para Intelektual Indonesia yang belajar di Belanda pada saat itu telah mengesankan adanya identitas “intelek” bagi mereka yang mahir Bahasa Belanda (sebuah Halo Efek), juga ada kesan “Belanda sebagai pusat kegiatan akademik puncak” yang akhirnya memberikan efek pada kesan-kesan pusat ilmu ataupun peradaban tinggi pada identitas Negara Belanda dan seluruh kandungan yang ada didalamnya (Pakaian, Bahasa, gaya hidup, makanan, selera musik, dsb).
Begitupun juga kehadiran Belanda yang saat itu sebagai Negara Adikuasa bagi Bangsa Indonesia menyelipkan identitas superior bagi Bahasa Belanda. Karena Bahasa Belanda adalah Bahasa yang digunakan oleh kaum yang menjajah kita, perintah-perintahPeranan Bahasa Indonesia dalam Mencerdaskah Bangsa Indonesia
          Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa Indonesia, yang terdiri atas berbagai suku dan etnis dengan latar belakang bahasa berbeda.Di-Indonesia kesepakatan Bahasa persatuan sebagai Bahasa Indonesia telah dibentuk
sejak Sumpah Pemuda (secara de Facto), yang menjadikan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa yang sah sebagai Bahasa pemersatu. Jadi ketika kita menggunakan Bahasa Indonesia jelas sudah kesepakatan kita untuk menjadikan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa pemersatu yang ter-realisasi hingga detik ini, dengan harapan setiap warga Indonesia di-kedepannya dapat berkomunikasi satu sama lain tanpa mengalami kesulitan dengan seluruh manusia yang berada di-wilayah Indonesia. Akhirnya, setiap kali kita menggunakan Bahasa Indonesia kita akan teringatkan oleh satu identitas atau peran dari diri kita yaitu : Aku ini Orang Indonesia. Dan setiap kali kita berbahasa Indonesia kita telah mewujudkan salah satu impian Tunggal Ika (Persatuan) dalam Ke-Bhinekaan (Kemajemukan) kita, karena Bhineka adalah sebuah kenyataan sedangkan Tunggal Ika adalah suatu harapan yang terus-menerus sedang di- usahakan realisasinya dalam bidang apapun dan persepsi manapun, kelak harus dikonsensuskan.
Namun belakangan ini ada cara pemakaian Bahasa yang sedang populer yang berlangsung dimana-mana dan dilakukan oleh semua orang dari semua kalangan yaitu : Penggunaan Bahasa Indonesia campur aduk. Sekarang ini orang sedang Hobi untuk mengkombinasikan Bahasa Indonesia mereka dengan bahasa asing, terutama dengan Bahasa Inggris, seperti kata-kata “Fuck banget gitu lho” “You punya barang berapa” “so what gitu lho” “sampai ketemu later ya!” “saya sudah katakan sebelumnya kalau emotion itu selalu terpisah dengan cognition, thats why its very hard to reach konklusi dari kedua hal tersebut.” Dalam argument, dalam bincang-bincang santai, dalam televisi, bahasa Indonesia tipe mutant ini selalu keluar. Mengapa bisa begitu?
Sebetulnya hal ini sudah terjadi sejak dulu, namun fenomena krisis tersebut baru meledak hari ini. Sewaktu Soekarno berdebat dengan salah satu aktifis feminis, dia menggunakan Bahasa Indonesia, Belanda dan Sunda secara campur aduk sehingga membuat orang-orang yang ada disekitarnya jadi bingung. Dan ketika itu Sjahrir menegur “tolong jangan gunakan 3 bahasa sekaligus ketika berpendapat, karena banyak peserta yang bingung. Lagipula kan Indonesia sudah ada Bahasa pemersatu, kenapa tidak gunakan itu saja?” Soekarnopun minta maaf lantas meneruskan musyawarah dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kebiasaan seperti itupun bisa kita temukan dalam catatan seorang Nasionalis seperti Soe Hok Gie (Dalam bukunya Catatan seorang Demonstran), yang biasa mencampurkan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris.
Sebetulnya mudah sekali untuk mencari penyebabnya, Soekarno menggunakan Bahasa Belanda karena Bahasa Belanda ketika itu dijadikan sebagai Bahasa Akademis oleh sekolah-sekolah tingkat tinggi yang memang dikelola oleh bangsa Belanda. Dan banyaknya para Intelektual Indonesia yang belajar di Belanda pada saat itu telah mengesankan adanya identitas “intelek” bagi mereka yang mahir Bahasa Belanda (sebuah Halo Efek), juga ada kesan “Belanda sebagai pusat kegiatan akademik puncak” yang akhirnya memberikan efek pada kesan-kesan pusat ilmu ataupun peradaban tinggi pada identitas Negara Belanda dan seluruh kandungan yang ada didalamnya (Pakaian, Bahasa, gaya hidup, makanan, selera musik, dsb).
Begitupun juga kehadiran Belanda yang saat itu sebagai Negara Adikuasa bagi Bangsa Indonesia menyelipkan identitas superior bagi Bahasa Belanda. Karena Bahasa Belanda adalah Bahasa yang digunakan oleh kaum yang menjajah kita, perintah-perintah
yang membudaki kita keluar dari bahasa itu, umpatan merendahkan kepada bangsa Indonesia juga keluar dari bahasa itu, maka menggunakan Bahasa Belanda akan secara tidak sadar membuat kita berfantasi menjadi seorang Belanda. Seorang yang superior, intelek, kuat dan yang lain sebagainya. Dari sekian Bahasa yang dikuasai Soekarno pada waktu itu, mengapa ia memilih Bahasa Belanda? hal itu adalah untuk menandakan bahwa “Saya ini pinter lho” “Saya ini kaum akademisi” dan banyak hal lain.
Dalam “Impian Pamanku (my uncle dream)” Karangan Fyodor Dostoyevsky disini disibak kebiasaan buruk orang-orang Russia dikala itu terutama dari kalangan kaum bangsawannya, menggunakan Bahasa Perancis dan Russia secara campur aduk untuk menunjukkan identitas keninggratan, kesopanan, kehalusan, selera, kelas sosial, menunjukkan kesan “ber-adab” kesan “intelek” dan peningkatkan gengsi. Kata-kata selamat tinggal dengan Au Revoir dan memuji kecantikan wanita dengan bahasa-bahasa Perancis, atau mengucapkan permintaan maaf atau teguran ramah dengan bahasa Perancis, biasa digunakan untuk ajang menjelaskan identitas diri sekaligus (pemalsuan/pseudo) peningkatan Identitas dan penandaan status kelas sosial, lalu mengapa harus Bahasa Perancis? Karena dikala itu, Perancis menjadi pusat literatur. Tempat para pemikir, seniman, sastrawan yang dipercaya memiliki budaya lebih tinggi dari mereka.
Dan kalau kita lihat TV sekarang ini, kita akan melihat fenomena-fenomena bahasa campur aduk seperti itu, contoh saja kita bisa melihat lagak Tantowi Yahya yang seakan sangat bangga sekali dengan Bahasa Inggrisnya yang sempurna. Nadine, lebih senang memakai Bahasa Inggris daripada Bahasa Indonesia ketika diwawancara di kontes Miss Universe, padahal banyak dari pemenang kontes tersebut yang menggunakan penerjemah karena tidak menguasai Bahasa Adimanusia kontemporer atau Bahasa Inggris. Dan Thukul, si cerdas itu, dibodoh-bodohi dengan ketawa-ketawaan para tamu dan penonton semata-mata karena tidak bisa Bahasa Inggris, diberikan kesan tidak berpendidikan dan berpikiran sederhana, dikesankan menyandang budaya yang lebih rendah (Kampungan/Ndeso) padahal orang seperti dia kemampuan sosial dan penguasaan bahasanya bisa dikatakan melebihi rata- rata, kreatifitasnya dalam mengaitkan pembicaraan dan langsung dengan mudah menyimpulkannya mengisyaratkan kecerdasannya. Dan kerendahan hati juga kehidupan pribadinya yang prihatin tidakkah menggambarkan kebijakan prinsip hidup Jawa kuno yang mencari ke-prihatinan (bukan menghindari) dibandingkan dengan mengejar kerakusan pemuasaan syahwat?
Dan yang lucu lagi, di friendster, ada orang yang mencoba untuk menjelaskan profile- nya dengan bahasa Inggris. Memasukkan hobi berkemahnya dan menulisnya dengan Campang yang sebetulnya adalah camping, hobi bertualangannya dengan Adnventure, dia ingin menetapkan kelas sosialnya dengan Bahasa Inggris padahal dia tidak bisa Bahasa Inggris, bukankah ini sangat menyedihkan?. Atau juga didalam televisi serial Olah-raga basket, pembawa acaranya sungguh membuat kita mual. “Yo Brother and sister, this is our new-commer is in the house, so how is it Mc “Dog” Lohan? Bagaimana Kabar my brother belakangan ini? My brother and yang in the corner corner baik-baik saja kan?” Inilah disebabkan adanya pengertian bahwa Bahasa Inggris menandakan kultur dan kelas sosial yang tinggi, dan ada pemahaman bahwa Bahasa Indonesia adalah Bahasa Awam atau bahasa Kaum kebanyakan yang memiliki Kultur dan latarbelakang yang lebih rendah daripada Bahasa Inggris (Bahasa Massif, bukan elit). Sebuah dualitas antara Bahasa Kebanyakan (budaya rendah) dengan Bahasa Kelas sosial Tinggi (Budaya Tinggi). Ini berasal dari sebuah perasaan malu dan perasaan inferior terhadap identitas golongan dan diri yang melahirkan penghambaan yang akut yang terjadi tanpa kita sadari terhadap kultur barat. Akhirnya untuk menutupi rasa rendah diri terhadap identitas kita, kita berusaha untuk berpura-pura atau meng-imitasikan diri sebagai orang Barat, agar ada perasaan sesaat bahwa kita ini beda dari Bangsa Indonesia yang lain kita ini Bangsa Indonesia yang menguasai adat istiadat barat yang lebih tinggi, lebih ber-adab, lebih rasional dan canggih.
Dan banyak kawan-kawan yang bila sedang dalam argument mengembalikan keterdesakan mereka dengan kata mutiara atau merubah bahasa yang mereka gunakan dengan bahasa Inggris, atau Jerman atau Perancis, bahwa mereka itu cerdas karena bisa berbicara dalam bahasa orang-orang cerdas. Mereka mengkomunikasikan bahwa mereka itu orang yang menguasai kultur tinggi, bukan orang sembarangan, mereka masuk kedalam kelas sosial elite. Sindiran terbaik untuk ini adalah memalui pemeranan salah satu pejabat kita di satu dunia lain didalam TV, yang ketika terdesak karena tidak tau, untuk melindungi diri dari takut kelihatan bodoh dia berbicara Bahasa Inggris untuk menyelamatkan mukanya, “That’s Right my brother” sindiran maut dari Timnya Olga Lidya yang imut dan cantik itu bagus sekali untuk tempat berkaca salah satu pejabat PLN yang diwawancara di Q TV yang menggunakan Bahasa Inggris Indonesia campur aduk sekedar untuk membuat kita bingung akan ke- bobrokannya. Seharusnya kita menggunakan Bahasa untuk membuat sebanyak-banyaknya orang mengerti bukan untuk membuat sebanyak-banyaknya orang tidak mengerti, bahasa memiliki identitas dari maknanya bukan dari jenis bahasanya, hanya anak kecil yang tau akan bobroknya ilusi peradaban ini belajarlah dari mereka.
Karena itu dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam mengkomunikasikan Teknologi Informasi, perbincangan politik di televisi, hiburan dan berbagai hal lain, bukan sebagian kecil yang bisa meng-aksesnya tapi seluruh masyarakat Indonesia yang bisa mengerti Bahasa Indonesia bisa memahaminya, bisa memahami fenomena politik yang sekarang sedang berlangsung, bisa memahami lawakan yang sedang dibicarakan, bisa memahami wacana yang sedang diberikan, jadi tidak ada elitisasi dan segmentasi kelas dalam Bahasa, dan orang tidak harus lagi malu untuk bangga terhadap Bahasanya sendiri (dengar itu Nadine?), karena itu adalah Bahasa kita maka kita harus menerima dan berbangga dengannya dengan sepenuh hati.
Aku tercerahkan untuk menulis ini dan mengkaitkannya dikarenakan kata-kata Gus Dur “Daripada Pusing memikirkan 90 persen orang Indonesia bisa berbahasa Inggris agar dapat menguasai Teknologi Informasi, kenapa tidak mengubah bahasa Teknologi Informasi menjadi Bahasa Indonesia agar seluruh orang bisa Paham” dia bisa berbicara seperti ini karena dia melihat adanya hubungan antara mampu berbahasa Inggris dengan kemajuan, dia mampu menyibak ilusi tersebut. Karena itu ilusi segementasi kelas dan nilai intelektualitas dari Bahasa adalah sebuah kabut yang harus kita sibak dan enyahkan, agar kita bisa memperlakukan Bahasa seperti apa adanya Bahasa itu layak diperlakukan. Bukankah dengan membudayakan bangga berbahasa Indonesia dimanapun dalam diskursus apapun secara tidak langsung kita juga akan mencerdaskan bangsa kita? Dan bila kita tidak membudayakannya sama saja dengan mengisolasi satu jaringan informasi agar tidak bisa di-akses secara massal karena Bahasa UFO-nya yang asing itu? Dengan kata lain sama saja dengan membiarkan kebodohan massal berlangsung karena kesulitan meng-akses informasi yang ada karena kelainan Bahasa. Kalau tetap kuat berpegang pada Bahasa Inggris aku usulkan begini saja, kita jadikan saja Bahasa Inggris sebagai Bahasa pemersatu.
Dalam kehidupan sehari-hari mulai dari interaksi intrapersonal, interpersonal, maupun yang meluas pada kehidupan berbangsa dan bertanah air, bahasa memegang peran utama. Peran tersebut meliputi bagaimana proses mulai dari tingkat individu hingga suatu masyarakat yang luas memahami diri dan lingkungannya. Sehingga pada saat inilah fungsi bahasa secara umum, yaitu sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, memberikan perannya.
Dalam mengembangkan diri, seorang individu akan berusaha untuk beradaptasi dengan bahasa yang ada di lingkungannya. Penelitian Chomsky tentang gen dan bahasa mengungkapkan bahwa seorang individu memiliki kemampuan alami untuk memahami bahasa secara umum yang akan beradaptasi untuk lebih spesifik memahami bahasa yang digunakan di lingkungannya. Proses adaptasi bahasa dalam seorang individu memandunya untuk mengidentifikasikan dirinya pada kelompok yang memiliki bahasa yang sama dengan dirinya. Maka dari itu proses alamiah tersebut perlahan membentuk ikatan sosial antara individu dengan individu yang lain dalam sebuah kelompok masyarakat.
Proses pengidentifikasian kelompok yang terus berjalan dalam individu membentuk suatu bentuk warna kepribadian. Hal tersebut sesuai dengan kesimpulan Prof. Anthony melalui kajian semantik dan etimologi kata mengenai bahasa yang merupakan cerminan dari watak,sifat, perangai, dan budi pekerti penggunanya.
Berbeda dengan proses adaptasi bahasa pada individu, dalam tingkatan masyarakat proses adaptasi berjalan lebih kompleks, dengan waktu yang lebih panjang pula. Masyarakat yang merupakan sekumpulan dari individu-individu dalam suatu wilayah tertentu pada awalnya akan membuat kesepakatan-kesepakatan dalam mengungkapkan makna serta berkomunikasi. Selanjutnya proses ini secara terus menerus mengalami perubahan sehingga membentuk suatu sistem, atau yang disebut Hugo Warami sebagai sistem kesepakatan- kesepakatan. Sistem kesepakatan dalam masyarakat ini bukanlah suatu hasil akhir melainkan terus mengalami perubahan sesuai dengan kealamiahan dari berdinamikanya masyarakat beserta individu dalam merespon ransang dari luar. Proses yang berlangsung dalam masyarakat tersebut akan membentuk karakteristik masyarakat seperti warna kepribadian dalam individu.
Salah satu bahasa yang digunakan oleh sebagian masyarakat di dunia adalah bahasa Melayu. Dalam perkembangannya bahasa Melayu berhasil menjadi bahasa yang paling berpengaruh di Asia Tenggara dan satu dari lima bahasa dunia yang mempunyai jumlah penutur terbesar. Melayu merupakan bahasa nasional satu-satunya dari empat Negara: Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Di Indonesia, bahasa Melayu telah menjadi bahasa yang penting. Peran bahasa Melayu meliputi bahasa persatuan, bahasa nasional, dan bahasa pengantar dalam pendidikan. Menurut Koentjaraningrat, pemilihan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia secara historis dikarenakan enam hal. Pertama, berkembangnya suasana kesetiakawanan yang mencapai momentum puncak yang menjiwai pertemuan antara pemuda cendekiawan Indonesia yang penuh idealisme pada tanggal 28 Oktober 1928. Kedua, adanya anggapan bahwa bahasa Melayu sejak lama merupakan lingua franca, bahasa perdagangan, bahasa komunikasi antarorang Indonesia yang melintas batas sukubangsa, dan bahasa yang digunakan untuk penyiaran agama. Ketiga, adanya pengaruh media massa dalam bahasa Melayu. Keempat, berkembangnya kebiasaan penggunaan bahasa Melayu dalam rapat-rapat organisasi gerakan nasional. Kelima, tidak adanya rasa khawatir dalam diri warga suku non- Jawa terhadap risiko terjadinya dominasi kebudayaan dari sukubangsa mayoritas. Keenam, karena para cendekiawan Jawa sendiri mengecam struktur bahasanya sendiri.
Disepakatinya bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia menjadi landasan kokoh bagi terbentuknya integrasi dan identifikasi sosial/nasional. Sebagai salah satu bentuk fisik dari identitas nasional, bahasa Indonesia memiliki potensi untuk mempersatukan rakyat Indonesia. Potensi tersebut dikarenakan bahasa Indonesia memiliki fungsi sebagai bahasa nasional, yaitu sebagai lambang identitas nasional, alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda kebudayaan, adat istiadat, dan bahasanya; serta sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya.
Tantangan pembentukan identitas nasional melalui bahasa di Indonesia terdiri dari
tantangan internal dan eksternal. Secara internal bahasa persatuan ini harus menghadapi
realita bahwa Indonesia terdiri dari berbagai bahasa dan budaya. Sehingga dalam proses sosialisasinya bahasa Indonesia harus menuntaskan kegamangan antara menampilkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang dapat digunakan seluruh masyarakat tanpa melenyapkan bahasa daerah. Hal ini diperumit dengan suatu kondisi dimana beberapa bahasa daerah terancam punah diakibatkan sosialisasi bahasa Indonesia yang tidak mengindahkan perawatan bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang harus dilestarikan. Sehingga pada daerah yang masih tertinggal, bahasa ibu ditinggalkan karena tidak lebih prestise dibandingkan bahasa Indonesia. Di satu sisi bahasa Indonesia juga harus menghadapi realita bahwa penuturnya sendiri sangat sedikit yang mau mempelajari kaidah bahasa yang baik dan benar.
Menurut pendapat Amran Halim (lihat Kompas, 8 Maret 1995, halaman 16) setelah 67 tahun BI dikukuhkan sebagai bahasa persatuan, situasi kebahasaan ditandai oleh dua tantangan. Tantangan pertama, yakni perkembangan bahasa Indonesia yang dinamis, tetapi tidak menimbulkan pertentangan di antara masyarakat. Pada saat bersamaan bangsa Indonesia sudah mencapai kedewasaan berbahasa. Sekarang tumbuh kesadaraan secara emosional bahwa perilaku berbahasa tidak terkait dengan masalah nasionalisme. Buktinya, banyak orang yang lebih suka memakai bahasa Asing, demikian Amran Halim.
Tantangan kedua, yakni persoalan tata istilah dan ungkapan ilmiah. Tantangan kedua ini yang menimbulkan prasangka yang tetap diidap ilmuwan kita yang mengatakan bahwa bahasa Indonesia miskin, bahkan kita dituduh belum mampu menyediakan sepenuhnya padanan istilah yang terdapat dalam banyak disiplin ilmu, teknologi, dan seni. Menurut Moeliono (1991:15) prasangka itu bertumpu pada pendirian apa yang tidak dikenal atau diketahui, tidak ada dalam bahasa Indonesia.
Selain tantangan internal seperti di atas, bahasa Indonesia juga harus menghadapi gempuran dari bahasa asing. Hal yang serupa dengan tantangan internal mengenai bahasa daerah, bahasa Indonesia oleh sebagian masyarakat dipandang tidak lebih prestise dibandingkan dengan bahasa asing. Hasilnya penggunaan kaidah bahasa Indonesia tidak banyak menjadi sorotan penting. Percampuran antara bahasa Indonesia dan bahasa asing menjadi sesuatu yang lumrah. Bahasa gaul mulai merebak di masyarakat, bahkan yang berpendidikan tinggi hingga pejabat dan media massa. Jika hal ini terus dibiarkan maka bahasa Indonesia akan menjadi minoritas dan punya istilah “tamu di rumahnya sendiri”.
Saat ini tantangan terhadap bahasa Indonesia, baik internal maupun eksternal, merupakan hal yang tidak hanya mengancam eksistensi bahasa Indonesia. Konsekuensi ancaman tersebut tidak hanya sebatas mengancam eksistensi bahasa Indonesia, namun menjadi sangat penting karena berkaitan dengan bahasa sebagai identitas dan kepribadian bangsa. Jika dihayati dari prosesnya, awalnya masyarakat merubah gaya bahasanya lalu mempengaruhi tingkah lakunya sehingga akan mengalami kegamangan norma dan kepribadian berkaitan dengan identitas sosial. Fenomena tingginya angka kriminalitas dan kenakalan remaja menjadi sebuah bukti dari kegamangan tersebut. Hal itu tidak terlepas dari pandangan manusia sebagai substansi dan manusia sebagai makhluk yang mempunyai identitas (Verhaar, 1980: 11).
Kemudian kegamangan kepribadian tersebut membuat kesadaran bersatu meluntur. Tantangan disintegrasi bangsa semakin tinggi. Fenomena tawuran antar desa hingga antar suku merupakan salah satu jawaban yang dapat menyingkap kurang mengakarnya peran bahasa Indonesia sebagai penyatu bangsa. Dalam konteks kesadaran bersatu inilah kita dapat belajar dari kepemimpinan Orde Baru dalam mengopinikan “persatuan” meskipun caranya yang represif harus di evaluasi.
Selama ini usaha untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sudah banyak dilakukan. Hal ini terlihat dari mulai membaiknya badan perencanaan bahasa yang ada di Indonesia. Bahkan badan tersebut berjejaring dengan badan perencanaan di Malaysia dan Brunei, karena sama-sama berbahasa Melayu, yang sudah melakukan berbagai penelitian dan melakukan perencanaan internasional. Namun usaha tersebut masih dalam tataran struktural dan politis, belum merambah “akar rumput” yang merupakan basis kultural dan
mengakar. Kesadaran dari pemerintah, media, dan masyarakat terhadap konsep bahasa persatuan masih rendah. Usaha para budayawan dan ahli bahasa Indonesia belum didukung penuh oleh kebijakan strategis dan merakyat dari pemerintah. Ditambah lagi peran media yang semakin luas tidak diimbangi oleh usaha sosialisasi bahasa Indonesia yang baik dan benar membuat masyarakat kini lebih merespon stimulasi dari asing serta semakin jauh dari kaidah berbahasa yang benar. Bukannya masyarakat harus tertutup dari pengaruh asing, namun kemampuan untuk menyaring informasi, gaya bahasa, dan perilaku inilah yang menjadi pokok masalah terjadinya kegamangan identitas.
Dinamika antara potensi dan tantangan atau realita yang dialami bahasa Indonesia saat ini merupakan suatu data yang dapat dijadikan sumber prediksi bagi eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di masa depan. Dalam konteks bahasa Melayu, Collins menyatakan bahwa peran bahasa Melayu akan semakin berkembang, baik di kawasan Asia Tenggara maupun di belahan bumi yang lain. Di luar Asia Tenggara bahasa Melayu dipelajari di delapan Negara Eropa dan dua Negara di Amerika. Jumlah penutur bahasa Melayu dalam waktu dekat ini akan terus meningkat. Hal ini akan meningkatkan prestise di kalangan para penuturnya yang kemudian akan mempengaruhi sikapnya untuk lebih positif terhadap bahasa Melayu. Terlebih menurut prediksi dari Collins, pengaruh bahasa Inggris belum begitu jelas di Asia Tenggara pada masa depan.
Pengaruh secara global bahasa Melayu tersebut tentunya akan juga berpengaruh di Indonesia meskipun akan membutuhkan proses yang sangat lama. Pengaruh tersebut berkaitan juga tingkat kesadaran pemerintah, media, dan masyarakat Indonesia tentang pentingnya bahasa Indonesia sebagai pemersatu. Kesadaran ini tidak hanya pada bagian luar pemahaman saja, namun selayaknya menjadi penghayatan dan pengidentifikasian seluruh masyarakat sebagai satu bangsa.
PERAN BAHASA INDONESIA DALAM JURNALISTIK
Bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan oleh pewarta atau media massa untuk menyampaikan informasi. Bahasa dengan ciri-ciri khas yang memudahkan penyampaian berita dan komunikatif (Tri Adi Sarwoko, 2007).
Selama ini masih banyak orang yang menganggap bahasa jurnalistik sebagai perusak terbesar bahasa Indonesia. Mereka menganggap bahasa jurnalistik sebagai bahasa lain yang tidak pantas dilirik.
Anggapan itu ada benarnya, karena wartawan memang kadang-kadang menggunakan bahasa
atau kata-kata pasaran yang melenceng dari Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Media massa jugalah yang “memasarkan” kata-kata yang agak –maaf- kasar atau jorok kepada masyarakat, sehingga masyarakat yang dulu terbiasa dengan bahasa yang agak halus dan sopan (eufemisme), kini menjadi akrab dengan kata-kata kasar dan blak-blakan, seperti sikat, bakar, bunuh, darah, bantai, rusuh, rusak, provokatif, perkosa, penjara, pecat, jarah, serta obok-obok dan esek-esek.
Selain itu, media massa juga kerap mengutip kata-kata yang salah, seperti bentuk kembar sekedar-sekadar, cidera-cedera, film-filem, teve-tivi-TV. Ada media yang memakai risiko, ada yang resiko. Ada yang memakai sekedar, ada yang sekadar.
Ada pula media massa yang dengan tanpa dosa menuliskan kata ganti kita, padahal yang
seharusnya adalah kata kami.
Penghilangan imbuhan dalam judul berita juga kerap salah, misalnya Amerika Bom Irak, padahal semestinya Amerika Mengebom Irak, atau Tentara Israel Tembak Anak Palestina, yang seharusnya Tentara Israel Menembak Anak Palestina.
Bagi para penulis dan jurnalis (wartawan), bahasa adalah senjata, dan kata-kata adalah pelurunya. Mereka tidak mungkin bisa memengaruhi pikiran, suasana hati, dan gejolak perasaan pembaca, pendengar, atau pemirsanya, jika tidak menguasai bahasa jurnalistik dengan baik dan benar.
Itulah sebabnya, para penulis dan jurnalis harus dibekali penguasaan yang memadai atas
kosakata, pilihan kata, kalimat, paragraf, gaya bahasa, dan etika bahasa jurnalistik.
Seorang jurnalis tidak boleh menggunakan senjata untuk membunuh orang, tetapi harus menggunakan senjata itu untuk mencerdaskan dan memuliakan masyarakat, serta membela dan menjunjung tinggi kehormatan negara dan bangsa (Dad Murniah, Harian Sinar Harapan, 2007)
KREATIVITAS DALAM BERBAHASA
Beberapa puluh tahun lalu dan mungkin hingga kini, banyak sastrawan yang iri melihat kebebasan penggunaan bahasa dalam dunia jurnalistik atau di media massa, sehingga tak heran kalau banyak sastrawan yang terjun menjadi wartawan.
Dunia jurnalistik dan dunia sastra memang sama-sama menuntut kreativitas dalam berbahasa. Gorys Kerap, salah seorang pakar bahasa, pernah mengatakan bahwa dalam bahasa jurnalistik ada kemerdekaan pengungkapan seperti halnya bahasa sastra. Kebebasan, kemerdekaan, dan kreativitas itulah yang membuat bahasa jurnalistik masa kini lebih kaya warna dan gaya.
Bahasa jurnalistik tidak lagi menjadi bahasa yang kering dan hanya bertugas menyampaikan
informasi, tetapi juga menyajikan bahasa yang enak dan indah.
Wartawan atau penulis berita dituntut bukan cuma memilih kata yang tepat agar penyampaian
berita tepat sasaran, melainkan juga agar menimbulkan efek bunyi yang enak (eufoni).
BAHASA JURNALISTIK
Telah dikemukakan di atas bahwa bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan oleh pewarta atau media massa untuk menyampaikan informasi. Bahasa dengan ciri-ciri khas yang memudahkan penyampaian berita dan komunikatif.
Apa ciri khas atau sifat bahasa jurnalistik itu? Rosihan Anwar, salah seorang wartawan senior, mengatakan, bahasa jurnalistik mempunyai sifat khas, yaitu singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, dan menarik.
Jus Badudu, pakar bahasa, mengatakan, bahasa jurnalistik itu harus sederhana, mudah dipahami, teratur, dan efektif. Sederhana dan mudah dipahami artinya menggunakan kata dan struktur kalimat yang mudah dimengerti pemakai bahasa umum. Teratur artinya setiap kata dalam kalimat sudah ditempatkan sesuai dengan kaidah. Efektif artinya tidak bertele-tele tetapi juga tidak terlalu berhemat yang dapat mengakibatkan makna yang dikandung menjadi kabur.
Bahasa Indonesia yang digunakan dalam dunia jurnalistik lebih mendekati bahasa sehari-hari, sedangkan bahasa Indonesia yang digunakan dalam penulisan buku sangat dijaga agar sesuai benar dengan kaidah dan keresmian bahasa baku.
SUMBANGAN MEDIA MASSA
Perlu diketahui dan dipahami bahwa media massa bukan sekadar dunia informasi, melaihkan juga dunia bahasa. Ketika seseorang berniat menerjuni profesi jurnalis atau wartawan, maka sesungguhnya ia juga berniat menjadi seorang pejuang bahasa.
Seorang jurnalis atau wartawan, setiap hari bergelut dengan kata dan kalimat. Mereka juga dituntut berkreasi dalam mengolah kata agar tulisannya tidak membuat jenuh pembaca. Tak heran kalau kemudian sering dijumpai “kata-kata baru” di media cetak dan media elektronik.
Kata heboh, Anda, gengsi, dan santai, adalah sebagian kata yang disumbangkan media massa
dalam perkembangan bahasa Indonesia.
Kata heboh pertama kali diperkenalkan dalam kosakata bahasa Indonesia dalam harian Abadi pada tahun 1953, oleh wartawan Mohammad Sjaaf. Kata Anda diperkenalkan oleh Sabirin, seorang perwira TNI AU dan pertama kali dimuat pada harian Pedoman, tanggal 28 Februari 1957. Kata gengsi diperkenalkan oleh Rosihan Anwar pada tahun 1949.
Kata ulang pemuda-pemudi dan saudara-saudari juga merupakan hasil kreativitas para
wartawan atau jurnalis.
Kongres Bahasa pertama pada tahun 1938 di Solo, Jawa tengah, juga merupakan hasil gagasan dan perjuangan dua wartawan muda ketika itu, yakni Soemanang dan Soedarjo Tjokrosisworo.
Peranan Bahasa Indonesia dalam Dunia Jurnalistik
Sebagai bahasa pemersatu, bahasa Indonesia tentu saja sangat berperan dalam dunia jurnalistik. Bayangkan kalau setiap media massa menggunakan bahasa daerah lengkap dialek masing- masing.
Namun demikian, untuk memperkaya khasanah bahasa dan untuk tetap menghidupkan bahasa daerah, banyak media massa yang memuat rubrik tertentu dengan menggunakan bahasa daerah, bahkan media massa televisi pun mulai membuat acara khusus dengan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya.
Bahasa Indonesia juga berperan menjembatani ketidaktahuan atau kekurang-pahaman masyarakat Indonesia akan bahasa asing dalam media massa di Indonesia. Apa jadinya kalau kalau semua berita, film, atau siaran dari mancanegara disajikan atau ditayangkan begitu saja tanpa pengantar bahasa indonesia oleh media massa kepada masyarakat Indonesia.
Sebagai tambahan, kiranya perlu saya sampaikan di sini, bahwa bahasa jurnalistik adalah sebuah laras bahasa, yaitu bahasa yang digunakan oleh kelompok profesi atau kegiatan dalam bidang tertentu. Selain laras bahasa jurnalistik, juga ada laras bahasa sastra, ekonomi, dan keagamaan.
Sebagai sebuah laras bahasa yang tak dapat berdiri sendiri, bahasa jurnalistik harus bersandar pada ragam bahasa, yakni ragam bahasa baku, karena hanya bahasa bakulah yang pemakaiannya luas dan memiliki ciri kecendekiaan. Itulah sebabnya, bahasa jurnalistik wajib memelihara bahasa Indonesia.
Ragam bahasa baku ingin menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa modern yang setara dengan bahasa lain di dunia, sedangkan laras bahasa jurnalistik memerlukan pengungkapan diri secara modern
.
Peran Bahasa Indonesia dan Daerah dalam pembangunan otonomi
Pendahuluan Bahasa Indonesia memiliki peran penting di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Peran tampak di dalam kehidupan bermasyarakat di berbagai wilayah tanah tumpah darah Indonesia. Komunikasi perhubungan pada berbagai kegiatan masyarakat telah memanfaatkan bahasa Indonesia di samping bahasa daerah sabagai wahana dan piranti untuk membangun kesepahaman, kesepakatan dan persepsi yang memungkinkan terjadinya kelancran pembangunan masyarakat di berbagai bidang Bahasa Indonesia sebagai milik bangsa, dalam perkembangan dari waktu ke waktu telah teruji keberadaannya, baik sebagai bahasa persatuan maupun sebagai resmi negara. Adanya gejolak dan kerawanan yang mengancam kerukunan dan kesatuan bangsa Indonesia bukanlah bersumber dari bahasa persatuannya, bahasa Indonesia yang dimilikinya, melainkan bersumber dari krisis mutidimensional terutama krisis ekonomi, hukum, dan politik, serta pengaruh globalisasi. Justeru, bahasa Indonesia hingga kini menjadi perisai pemersatu yang belum pernah dijadikan sumber permasalahan oleh masyarakat pemakainya yang berasal dari berbagai ragam suku dan daerah. Hal ini dapat terjadi, karena bahasa Indonesia dapat menempatkan dirinya sebagai sarana komunikasi efektif, berdampingan dan bersama-sama dengan bahasa daerah yang ada di Nusantara dalam mengembangkan dan melancarkan berbagai aspek kehidupan dan kebudayaan, termasuk pengembangan bahasa-bahasa daerah. Dengan demikian bahasa Indoensia dan juga bahasa daerah memiliki peran penting di dalam memajukan pepmbangunan masyarakat di dalam
Berbagai aspek kehidupan. Peran bahasa Indoensia dan bahasa daerah semakin penting di dalam era otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, akan mendorong dan menumbuhkan prakarsa dan kreativitas daerah. Hal ini tercermin dari kewenangan-kewenangan yang telah diserahkan ke daerah dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan tanggung jawab. Dengan prinsip tersebut diharapkan dapat mengakselarasi pencapaian tujuan yang telah direncanakan dalam pembangunan masyarakat.
Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang bersifat lintas kabupaten/kota. Kewenangan kabupaten/kota meliputi bidang pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Pengembangan Bahasa, termasuk sastra berhubungan dengan kewenangan pemerintahan di Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, baik yang dimiliki pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Kewenangan pemerintah pusat berupa penyediaan standar, pedoman, fasilitas dan bimbingan dalam rangka pengembangan bahasa dan sastra. Sedangkan kewenangan untuk penyelenggaraan kajian sejarah dan nilai tradisionil serta pengembangan bahasa dan budaya daerah merupakan bagian dari kewenangan provinsi. Oleh karena bahasa dan sastra daerah pada dasarnya berkembang dari masyarakat di desa-desa, kampung-kampung serta kelompok masyarakat tradisional yang secara kewilayahan berada dalam wilayah kabupaten/kota, maka mulai di kabupaten/kota dilakukan kegiatan operasional pengembangan bahasa dan sastra daerah. Di tingkat nasional sudah ada Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional sebagai lembaga yang mendapat mandat dari pemerintah untuk melakukan perencanaan bahasa. Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota dibentuk lembaga perpanjangan penyelenggaraan Pusat Bahasa berupa balai atau kantor bahasa yang berfungsi untuk membina dan mengembangkan bahasa dan sastra. Penyelenggaraan kegiatan pada lembaga bahasa di tingkat provinsi/kabupaten ini terkait langsung dengan rangkaian penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Era Otoda Pembinaan dan pengembangan bahasa pada era otoda seharusnya semakin mendapat tempat yang penting, karena era otoda memerlukan, sumberdaya manusia yang berkualitas, akselarasi manajemen yang tepat, masyarakat yang peduli, dan keterhubungan pihak lain secara komunkatif. Keseluruhan unsur tadi berkaitan langsung dengan bahasa sebagai piranti utama dalam berinteraksi. Perubahan sistem pemerintahan negara dari sentralistik menjadi desentralistik yang diwujudkan melalui sistem otonomi daerah memberikan peluang dan tantangan bagi upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Bahasa mengalami perubahan sejalan dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat penuturnya.
Bahasa digunakan sebagai sarana ekspresi dan komunikasi dalam kegiatan kehidupan manusia, seperti dalam bidang kebudayaan, ilmu, dan teknologi.. Seiring dengan perkembangan zaman, kebudayaan dan ilmu serta teknologi berkembang sedemikian rupa. Bahasa Indonesia pun berkembang mengikuti perkembangan tersebut. Pesatnya perkembangan kebudayaan, ilmu dan teknologi di dunia Barat membawa pengaruh terhadap perkembangan bahasa Indonesia, khususnya di bidang kosakata/ peristilahan. Di samping itu, luas wilayah pemakaian (tersebar dipulau-pulau yang secara geografis terpisahkan dengan oleh laut) dan besarnya jumlah penutur yang berlatar belakang (bahasa daerah dan kebudayaannya), memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan di tiap-tiap daerah yang lama kelamaan akan berkembang menjadi dialek tersendiri. Oleh karena itu, perlu diadakan kontak terus menerus antara daerah yang satu dan daerah yang lain untuk menjaga keutuhan bahasa Indonesia. Perkembangan bahasa Indonesia itu harus diarahkan menuju ragam bahasa baku. Selanjutnya, ada beberapa dasar pembinaan bahasa Indonesia yang diharapkan memberikan semangat dan motivasi tinggi dalam membina dan mengembangkan bahaasa Indoensia. Landasan tersebut bersifat keagamaan (religius), kesejarahan (historis, politis), kecendekian (intelektual), bersifat kemasyarakatan (sosial). Dengan landasan tersebut, pembinaan bahasa Indonesia yang dilakukan pada era otonomi daerah menjadi kuat, tidak tergoyahkan oleh kondisi yang bersifat memecah-belah, dan dapat dijadikan referensi dalam menjaga kesatuan dan persatuan demi keutuhan bangsaIndonesia. Landasan yang bersifat keagamaan adalah bahwa bahasa Indonesia itu karunia Tuhan yang harus kita syukuri. Membina dan mengembangkan bahasa Indonesia berarti mensyukuri karunia Tuhan. Sebaliknya, mengabaikan pemeliharaan bahasa Indonesia adalah sama dengan tidak mensyukuri karunia Tuhan. Landasan kedua bersifat kesejarahan, yaitu bahasa Indonesia merupakan amanat para
pejuang atau pahlawan bangsa. Butir ke-3 Sumpah pemuda tahun, 1928 menyatakan bahwa Kami putra-putri Indonesia, menjungjung bahasa Persatuan, bahasa Indonesia.. Demikian pula Pasal 36 UUD 1945 menyatakan bahwa Bahasa Negara adalah bahasa Indonesia. Generasi penerus harus mengamalkan amanat itu. Menghargai bahasa Indonesia dengan jalan “menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam suasana resmi” berarti mengamalkan amanat para pahlawan tersebut. Dasar berikutnya adalah landasan kecendekiaan. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang mampu mengemban konsep, mutu, dan dan keilmiahan, karena diemban oleh intelektualisme para cendekiawan atau orang terpelajar, bukan awam. Kemampuan intelektual orang terpelajar jauh lebih tinggi daripada orang awam. Pengalaman intelektual mereka pun jauh lebih banyak daripada orang awam. Atas dasar itu, bahasa Indonesia orang terpelajar harus lebih bermutu daripada orang awam. Bahasa Indonesia beragam. Dasar ini juga merupakan landasan dalam pembinaan bahasa Indonesia, karena secara sosial, penutur bahasa Indonesia berasal dari berbagai strata dan kelompok masyarakat. Ragam bahasa Indonesia di antaranya: ragam baku, nonbaku, ragam ilmiah, dan ragam lainnya. Fokus dan Arah Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Pada prinsipnya, pembinaan dan pengembangan bahasa adalah upaya dan penyelenggaraan kegiatan yang ditujukan untuk memelihara dan mengembangkan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan pengajaran bahasa asing. ini supaya dapat memenuhi fungsi dan kedudukannya. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia difokuskan melalui usaha-usaha pembakuan agar tercapai pemakaian yang cermat, tepat dan efisien dalam berkomunikasi. Sehubungan dengan itu, perlu diciptakan kaidah (aturan) dalam bidang ejaan, kosakata/istilah, dan tata bahasa. Dalam usaha pembinaan bahasa Indonesia perlu diarahkan dan didahulukan pada bahasa Indonesia ragam tulis karena coraknya lebih tetap dan batas cakupannya lebih jelas. Di samping itu, pembakuan lafal perlu dilakukan sebagai pegangan guru, penyiar televisi/radio dan masyarakat luas. Untuk kepentingan praktis, telah diambil sikap bahwa: (1) pembinaan terutama difokuskan kepada penuturnya, yaitu masyarakat pemakai bahasa Indonesia, dan (2) pengembangan terutama difokuskan kepada bahasa dalam segala aspeknya. Pembinaan dan pengembangan bahasa mencakup dua arah, yaitu (1) pengembangan bahasa mencakup dua masalah pokok (masalah bahasa dan masalah kemampuan/sikap) dan (2) pembinaan yang mencakup dua arah (masyarakat luas dan generasi muda). Pengembangan aspek bahasa meliputi ragam bhasa lisan dan bahasa tulis. Ragam bahasa lisan mencakup lafal, tata bahasa, dan kosakata/istilah, dan ejaan. Dalam ragam bahasa tulis yang digarap lebih dahulu adalah ejaan, dengan peresmian penggunaan Ejaan Yang Disempurnakan oleh Presiden Republik Indonesia tahun 1972. Kemudian, disusul dengan usaha pembakuan di bidang kosakata/istilah yang pemakaiannya diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1975. Di samping itu, dilakukan pula pengolahan kembali Kamus Umum Bahas Indonesia karangan M.J.S. Poewadarminta oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang terbit mulai cetakan V tahun 1976. Kemudian, pada tahun 1988 terbit Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan disempurnakan dalam edisi kedua yang terbit pertama tahun 1991. Usaha pembakuan dalam bidang tata bahasa secara resmi telah dirintis dengan diadakannya Seminar Penyusunan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia 1988. Dalam hal pengembangan kemampuan dan sikap, telah ditempatkan dasar yang kuat, yaitu dicantumkannya di dalam GBHN bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa dilakukan dengan mewajibkan peningkatan mutu pengguna bahasa Indonesia sehingga penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Di samping itu, telah dan terus dilakukan pengembangan kemampuan dan sikap positif pemakai bahasa Indonesia dengan media televisi dan radio. Ada pula upaya penyuluhan kebahasaan secara langsung bagi para pelaku ekonomi dan pembangunan, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, di berbagai propinsi. Dengan demikian, diharapkan akan diperoleh keseragaman kaidah dan penerapannya dalam berbagai laras bahasa (jenis penggunaan bahasa) sehingga tujuan pengembangan bahasa-salah satu tujuan itu adalah pembakuan bahasa dapat dicapai. Pada era otoda ini, pembinaan bahasa tetap mengacu kepada sikap kebijakan pembinaan bahasa, yaitu ditujukan kepada masyarakat penutur bahasa. Pembinaan ini menakup dua arah, yaitu vertikal dan horizontal. Arah vertikal dengan sasaran pembinaan kepada generasi muda, termasuk pelajar dan mahasiswa, yang merupakan generasi penerus. Arah horizontal dengan sasaran pembinaan kepada generasi sekarang, yaitu masyarakat luas minus generasi muda. Pada masyarakat generasi sekarang diutamakan pembinaan ragam bahasa tulis, karena merekalah yang akan mewariskan penggunaan bahasa yang baik dan benar kepada generasi penerus. Berdasarkan paparan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa pada era otoda sekarang ini meliputi usaha pengembangan bahasa (yang salah satu sasarannya berupa pembakuan bahasa) dan usaha meningkatkan kemampuan dan sikap penutur bahasa Indonesia agar dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Beberapa Masalah Pembinaan
Bahasa Indonesia Era Otoda Pembinaan bahasa Indonesia sudah lama dilakukan, bahkan sejak zaman Pejangga Baru (1933). Tetapi, sampai sekarang masih banyak kendala yang dihadapi dan dialaminya, khususnya di era otoda. Masalah utama adalah persoalan sikap terhadap pembinaan bahasa Indonesia. Ada sebagian masyarakat pengguna bahasa Indonesia yang meremehkan bahasa Indonesia. Sikap mereka terhadap pembinaan bahasa Indoensia acuh tak acuh. Mereka menilai: (1) Pelaksanaan pembinaan bahasa Indonesia kurang menarik, (2) Hasilnya kurang nyata, (3) Bahasa Indonesia dianggap mudah. Karena dianggap mudah, orang Indonesia tidak perlu mempelajari bahasa Indonsia. Persoalan sikap tersebut semakin menjadi masalah, karena sikap negatif itu bukan berasal dari kelompok awam, melainkan kelompok cendekia atau terpelajar. Mereka itu sebagian adalah pelaku utama dan pemegang peranan penting dalam roda otonomi daerah Jika orang awam bersikap negatif terhadap bahasa Indonesia, itu dapat dipahami. Tetapi, jika orang terpelajar bersikap seperti orang awam itu, tampaknya tidak berterima. Masalahnya, orang awam berbeda dengan orang terpelajar. Orang awam tidak banyak berkaitan dengan dunia pemikiran. Kegiatannya terbatas pada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan seorang terpelajar berkaitan erat dengan dunia pemikiran. Pemikiran-pemikirannya melahirkan konsep-konsep, perencanaan, dan kebijakan-kebijakan. Karena orang terpelajar pencetus konsep, perencana kegiatan, dan pembuat kebijakan, orang terpelajar selalu bergulat dengan masalah mutu sumberdaya manusia. Dalam pergulatan itulah bahasa Indonesia tampil sebagai piranti yang penting karena bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi, bahasa negara. Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dipahami bahwa orang terpelajar (kita semua) pada hakikatnya berkepentingan dengan pembinaan bahasa Indonesia. Bahkan orang terpelajar dengan sendirinya menjadi pembina Bahasa Indonesia. Sebabnya, sekali lagi, orang terpelajar terlibat dalam dunia pemikiran. Sebab lain, orang terpelajar sering terlibat dalam suasana resmi, suasana kenegaraan, dan yang terakhir, orang terpelajar berpengaruh kuat terhadap orang lain (anak buah, bawahan). Alasan tersebut di atas yang menjadikan kelompok terpelajar, kita semua, harus berperan sebagai pembina bahasa Indonesia. Konsekuensi logisnya adalah mau tak mau, kita haruslah menjadi contoh, teladan, anutan, model bagi orang lain. Setidaknya, bahasa Indonesia kita harus bermutu. Apakah bahasa Indonesia yang bermutu itu? Bahasa Indonesia yang bermutu ialah bahasa Indoensia yang bersih dari kesalahan, baik kesalahan kaidah, kesalahan logika, maupun kesalahan budaya. Kesalahan kaidah sudah sering dibahas. Jadi pembicaraannya tidak perlu untuk sementara. Kesalahan logika tampak pada penggunaan pola seperti: “Dalam seminar itu membicarakan masalah pengentasan kemiskinan”. “Beberapa seniman diberikan penghargaan”, dan yang lain. Kesalahan budaya terlihat pada penggunaan kata-kata asing seperti oke, sorry, point, complain, no comment, coffee morning, dan yang lain. Begitu pula penggunaan pola-pola seperti: “tujuan daripada pembangunan”, “banyak teori- teori”, “tidak masalah”, dan yang lain. Pola-pola seperti itu merupakan kesalahan budaya yang melahirkan kesalahan kaidah. Bacaan Halim, Amran. 1976. Politik bahasa Nasional II. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Halim, Amran. 1979. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kridalaksana, Harimurti. 1976. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende: Nusa Indah. Mawardi, Oentarto S. Peran Bahasa dan Sastra Daerah dalam Memperkukuh Ketahanan Budaya Bangsa. Makalah dalam Kongres Bahasa Indonesia VIII, Jakarta, 14 – 17 Oktober 2003 Sugono, Dendy. 1999. Berbahasa Indoensia dengan Benar. Jakarta: Puspa Swara. Sumowijoyo, G. Susilo. 2001. Pos Jaga. Bahasa Indonesia. Surabaya: Unipress Unesa ABSTRAK Bahasa Indonesia memiliki peran penting di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Peran tampak di dalam kehidupan bermasyarakat di berbagai wilayah tanah tumpah darah Indonesia. Komunikasi perhubungan pada berbagai kegiatan masyarakat telah memanfaatkan bahasa Indonesia di samping bahasa daerah sabagai wahana dan piranti untuk membangun kesepahaman, kesepakatan dan persepsi yang memungkinkan terjadinya kelancran pembangunan masyarakat di berbagai bidang Bahasa Indonesia sebagai milik bangsa, dalam perkembangan dari waktu ke waktu telah teruji keberadaannya, baik sebagai bahasa persatuan maupun sebagai resmi negara. Adanya gejolak dan kerawanan yang mengancam kerukunan dan kesatuan bangsa Indonesia bukanlah bersumber dari bahasa persatuannya, bahasa Indonesia yang dimilikinya, melainkan bersumber dari krisis mutidimensional terutama krisis ekonomi, hukum, dan politik, serta pengaruh globalisasi. Justeru, bahasa Indonesia hingga kini menjadi perisai pemersatu yang belum pernah dijadikan sumber permasalahan oleh masyarakat pemakainya yang berasal dari berbagai ragam suku dan daerah. Hal ini dapat terjadi, karena bahasa Indonesia dapat menempatkan dirinya sebagai sarana komunikasi efektif, berdampingan dan bersama-sama dengan bahasa daerah yang ada di Nusantara dalam mengembangkan dan melancarkan berbagai aspek kehidupan dan kebudayaan, termasuk pengembangan bahasa-bahasa daerah. Dengan demikian bahasa Indoensia dan juga bahasa daerah
memiliki peran penting di dalam memajukan pepmbangunan masyarakat di dalam berbagai aspek kehidupan. Peran bahasa Indoensia dan bahasa daerah semakin penting di dalam era otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, akan mendorong dan menumbuhkan prakarsa dan kreativitas daerah. Hal ini tercermin dari kewenangan-kewenangan yang telah diserahkan ke daerah dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan tanggung jawab. Dengan prinsip tersebut diharapkan dapat mengakselarasi pencapaian tujuan yang telah direncanakan dalam pembangunan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan teman-teman bisa syaring dan memberikan komentar dari tulisan kami..... jika ada coretan yang salah atau kurang tepat bisa disyaringkan disini saya hanya manusia biasa yang baru belajar.. tanks