McLuhan yang merupakan seorang
pemikir komunikasi pada tahun 1964 telah melontarkan konsepnya mengenai
The Global Village, namun konsep globalisasi baru masuk kajian dunia
universitas pada tahun 80-an sebagai suatu pengertian sosiologi yang
dicetuskan oleh Roland Roberston dari University of Pittsburgh, meskipun
secara umum globalisai dianggap sebagai suatu pengertian ekonomi
(Tilaar, 1997:15).
Tabb (2001:10) mengatakan bahwa definisi
globalisasi merupakan sebuah kategori luas yang mencakup banyak aspek
dan makna. Selanjutnya dia mengatakan bahwa:
“Istilah tersebut
berarti sebuah proses saling keterhubungan antar negara dan masyarakat.
Ini adalah gambaran bagaimana kejadian dan kegiatan di satu bagian dunia
memiliki akibat signifikan bagi masyarakat dan komunitas di bagian
dunia lainnya…. Ini bukan saja soal ekonomi tapi bahkan meningkatnya
saling ketergantungan sosial dan budaya dari desa global yang minum Coke
dan menonton Disney”
Malcom
Waters dalam bukunya Globalization, membuat beberapa kemungkinan
mengenai proses mulainya globalisasi. Pertama, globalisasi muncul sejak
manusia hidup di bumi ini; kedua, globalisasi lahir sejalan modernisasi
yang dimulai dikenal peradaban Barat yang sejalan dengan perkembangan
kapitalisme, ketika, globalisasi merupakan fenomena baru yang berkaitan
dengan pascaindustri, pascamodern atau disorganisasi kapitalisme.
(Tilaar, 1997:16).
Proses globalisasi mempengaruhi pada hampir
keseluruhan arena kehidupan manusia. Tetapi pada umumnya meliputi arena
ekonomi, politik, dan budaya. Pada arena ekonomi mempengaruhi dimensi
perdagangan, produksi, investasi, ideologi organisasi, pasar uang, dan
pasar kerja. Pada arena politik mempengaruhi kedaulatan negara, fokus
pemecahan masalah, organisasi internasional, hubungan internasional, dan
politik budaya. Pada arena budaya mempengaruhi dimensi lanskap
kepercayaan (sacriscape), lanskap etnik (etnoscape), lanskap ekonomi
(econoscape), dan lanskap persantaian (leisurescape).
Pandangan
Marxian menganggap arena ekonomiah yang menentukan, sedangkan pandangan
Parsonian menganggap arena budaya yang menentukan, sedangkan arena
lainnya mengikuti. Tabb (Tilaar, 2001:14) berpandangan bukan hanya pada
arena itu saja yang dipengaruhi globalisasi melainkan baik atau buruk.
Bagi mereka yang diuntungkan cenderung menyukainya dan tidak menghendaki
campur tangan pemerintah. Sementara yang berfikir bahwa mereka
dirugikan atau takut akan kehancuran dan mahalnya ongkos sosial
globalisasi akan usaha penyebaran keuntungan secara lebih fair . Tabb
mengatakan bahwa untuk menilai globalisasi, perlu dipertimbangkan
norma-norma kultural yang dihasilkan oleh proses globalisasi
kontemporer. Masalah globalisasi bukan melulu eksploitasi atau pekerja
dunia ketiga atau kerusakan lingkungan, tetapi juga proses dehumanisasi.
Globalisasi pada bidang ekonomi melahirkan negara-negara industri
raksasa dan korporasi perdagangan raksasa, di sisi lain memarjinalkan
negara-negara miskin. Globalisasi dalam bidang politik mengakibatkan
semakin berkurangnnya kekuasaan negara karena perkembangan ekonomi dan
budaya global. Globalisasi budaya menyebabkan dunia dewasa ini dalam
keadaan kacau (chaos).
Berkaitan dengan globalisasi terhadap
konsep etnis dan bangsa ada hal yang menarik terjadi dalam proses
tersebut, yang oleh Naisbitt (Tilaar, 2001) disebut sebagai paradoks,
yang menimbulkan efek diferensiasi dan sekaligus homogenisasi. Efek
diferensiasi terlihat pada runtuhnya negara Uni Soviet akibatnya
munculnya sub budaya etnis (etnosentrisme). Negara yang dulunya terdiri
dari pelbagai jenis etnis kini terurai ke dalam negara-negara kecil
akibat munculnya nilai-nilai budaya etnis. Masalah semacam itu disadari
benar oleh para founding fathers negara kita, sehingga memilih semboyan
Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan pengakuan terhadap nilai-nilai sub
budaya yang dari bangsa Indonesia yang bhinneka (berbeda-beda) namun
keseluruhannya diikat oleh satu cita-cita untuk menciptakan budaya
nasional yang diterima sebagai puncak budaya etnis. Efek homogenisasi
terjadi terutama karena pengaruh komunikasi yang semakin intens.
Televisi telah menjadikan dunia terasa sempit dan cita rasa manusia
seolah diseragamkan. Tapi pada sisi lain pengaruh komukasi juga
menyebabkan negara-bangsa (nation-state) yang homogen berubah ke arah
suatu multikulturalisme. Pusat kekuasaan bisa beralih ke pinggiran,
sedangkan budaya yang dulunya di pingiran (periphery) bisa berpindah ke
pusat.
Paradoks lain yang dimunculkan oleh globalisasi adalah
munculnya kesenjangan yang semakin besar antara negara-negara maju dan
negara-negara berkembang. Di sisi lain kesenjangan itu juga terjadi di
dalam negara-negara terebut, yaitu antara masyarakat kaya dan miskin.
Kemiskinan menjadi masalah pokok yang harus diatasi oleh dunia,
sebagaimana keputusan G-7 dalam pertemuan mereka di Lyon pada akhir Juni
1996 yang menyatakan bahwa:
“Globalisation (global economy) is
source of rising living standard reaping the gains from trade,
internasional investment, and tecnological progress. For this purpose,
developing countries should make adjustment to increased competition and
special efforts to eliminate inequality”.
2. Pengaruh Globalisasi
Globalisasi
yang menimbulkan krisis multidimensional telah mampengaruhi
perkembangan kepribadian manusia berupa krisis identitas dalam diri
individu, kelompok dan masyarakat termasuk di dalamnya kader . Untuk
mengatasi persoalan tersebut maka diperlukan upaya-upaya pembinaan
kepribadian kader yang merupakan pemberdayaan diri dalam menghadapi
persoalan-persoalan yang muncul akibat globalisasi. Kader partai harus
mempunyai identitas diri yang kuat dan memiliki antisipasi terhadap
perubahan-perubahan yang akan terjadi.
Heilbroner ( Tilaar,1997:34) menyatakan bahwa:
“masa
depan atau esok hari hanya dapat dibayangkan dan tidak dapat
dipastikan. Masa depan tidak dapat diramalkan. Manusia hanya dapat
mengontrol secara efektif kekuatan-kekuatan yang membentuk masa depan
pada hari ini. Dengan kata lain masa depan adalah masa kini yang
diarahkan oleh manusia itu sendiri. Apabila manusia masa kini tidak
mengenal kemungkinan-kemungkinan yang akan lahir serta kekuatan-kekuatan
yang akan membawa kehidupan umat manusia di masa depan tidak dikenal
maka manusia itu akan menderita akibat ketidaksadarannya itu. Dengan
kata lain manusia yang tidak mempunyai persepsi terhadap masa depannya
akan dibawa oleh arus perubahan yang dahsyat yang membawanya ketempat
yang tidak dikenalnya. Maka hasilnya sudah dapat dibaca, yaitu kehidupan
di dalam ketidakpastian atau chaos”.
Untuk membangun kepribadian
kader dalam menghadapi problematika yang muncul akibat globalisasi
sehingga tidak terjebak dalam arus perubahan yang menimbulkan
ketidakpastian (chaos) maka diperlukan pemberdayaan yang bertujuan
menjadikan kader sebagai warga dunia yang baik dan bertanggungjawab
(good and responsible citizenship) yang menurut Rosada (2000:10)
bertujuan :
“… untuk (a) membentuk kecakapan partisipatif yang
bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat
baik di tingkat lokal, nasional, regional dan global ; (b) menjadikan
warga masyarakat yang baik dan mampu menjaga persatuan dan integritas
bangsa guna mewujudkan Indonesia yang kuat, sejahtera dan demokratis;
(c) menghasilkan mahasiswa yang berfikir komprehensif, analitis, kritis
dan bertindak demokratis, yang … akan menjadi warga bangsa yang mudah
dipimpin tapi sulit dikendalikan, mudah diperintah tetapi sulit
diperbudak; (d) mengembangkan kultur demokrasi yaitu kebebasan,
persamaan, kemerdekaan, toleransi, kemampuan menahan diri, kemampuan
mengambil keputusan serta kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan
politik kemasyarakatan; (e) mampu membentuk mahasiswa menjadi good and
responsible citizen ( warga negara yang baik dan bertanggung jawab )
melalui penanaman moral dan keterampilan sosial (social skills) sehingga
kelak akan mampu memahami dan memecahkan persoalan-persoalan aktual
kewarganegaraan seperti toleransi, perbedaan pendapat, bersikap empati,
menghargai pluralitas, kesadaran hukum dan tertib sosial, menjunjung
tinggi HAM, mengembangkan demokrasi dalam berbagai lapangan kehidupan
dan menghargai kearifan lokal (local wisdom). (Dede Rosyada
et.al.,2000:10).
3. Respon terhadap Globalisasi
Kenyataan
globalisasi yang bersifat paradoksal telah memunculkan perlawanan
seperti tercermin dalam peristiwa 9/11. Di Eropa, pada dekade 1970-an,
protes terhadap penindasan dimonopoli kelompok kiri. Namun setelah
kelompok tersebut mulai melenyap di era 1990-an, maka menurut Eric
Hiariej jaringan yang tersisa adalah kelompok Islam Radikal. Hal
tersebut tercermin pada seorang mualaf Prancis yang ikut perang Bosnia.
Lionel Dumont yang mengatakan “the muslims are the only ones to fight
for the system”. Atau seperti yang dikatakan Mohammad Zarif-mantan
diplomat Thaliban, yang mengatakan “it is common knowledge that American
Imprealisme is the custodian of global capitalism……..the capitalist
world selected the Americans as their watchdog on basis of their
savageness in WW II” (Kompas, 6 Agustus 2005).
Kegamangan
menghadapi globalisasi yang seringkali berkonotasi pada kapitalisme dan
imprealisme, bukan hanya monopoli kelompok kiri dan Islam radikal.
Kelompok nasionalis, memiliki keprihatinan yang sama. Sukarno, dalam
pidatonya di depan Majelis Umum PBB, 30 September 1960, yang diberi
judul “Membangun Dunia Kembali” (To Build the World Anew) mengatakan ”
Nasib umat manusia tidak dapat lagi ditentukan oleh beberapa bangsa
besar dan kuat’. Bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa yang sedang
bertunas, bangsa-bangsa yang lebih kecil pun berhak bersuara karena
mempunyai tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan sehingga berhak
untuk didengar karena mempunyai peranan di dunia ini dan harus
memberikan sumbangannya. Imprealisme dan perjuangan untuk
mempertahankannya, merupakan kejahatan yang terbesar di dunia kita ini.
Indonesia berusaha membangun suatu dunia yang baru, yang lebih baik yang
sehat dan aman, di mana terdapat suasana damai dengan keadilan dan
kemakmuran untuk semua orang serta kemanusiaan dapat mencapai
kejayaannya yang penuh (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, 1961: 129-174).
Pidato Soekarno diperkuat dengan mengutif Al-Qur’an (S. 49: 13):
“Hai,
sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari
seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku, agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain.
Bahwasannya yang lebih mulia di antara kamu sekalian, ialah siapa yang
lebih taqwa kepadaKu”.
Tahun 1960-an ketika Soekarno menyampaikan
pidatonya, dunia sedang dalam amcaman perang nuklir akibat perseteruan
antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat da Blok Timur yang di
pimpin Uni Soviet. Namun Soekarno menolak dikotomi tersebut dan
menggalang kekuatan milyaran rakyat di Asia Afrika seraya mengatakan
bahwa “semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita, dan jika
cita-cita dan konsepsi itu menjadi usang, maka bangsa itu ada dalam
bahaya”. Konsepsi yang diperlukan yang dimaksud Soekarno adalah
Pancasila, yang dimaksudkannya sebagai alternatif dari Declaration of
Independence dan Manifesto Komunis.
a. Declaration of Independence
Declaration
of Independence yang ditulis oleh Thomas Jefferson dan kawan-kawan yang
kemudian diadopsi oleh Kongres Kontinental ke-dua pada pertemuan di
Philadelphia pada 4 Juli 1776, merupakan pernyataan kemerdekaan AS dari
penjajahan Inggris. Deklarasi tersebut merupakan filosofi sosial politik
yang isinya mengandung pemikiran bahwa ada hukum alam (laws of nature)
yang menjadi standar tolok ukur dalam penyusunan hukum; semua manusia
memiliki hak-hak alamiah yang melekat (unalienable rights); di antara
hak-hak asasi manusia yang terpenting adalah kehidupan, kemerdekaan dan
mengejar kebahagiaan (Life, Liberty and pursuit of Happiness) dan fungsi
pemerintah adalah melindungi hak-hak tersebut. Pemerintah mendapatkan
kekuasaannya berdasarkan persetujuan yang diperintah yaitu rakyat dan
tergantung pada kontrak sosial yang dibuat, dengan perjanjian bahwa
pemerintah fungsinya sesuai dengan keinginan rakyat dan apabila
pemerintah mengingkari fungsi utamanya dan tidak melindungi hak-hak
rakyat dan tidak memberikan keamanan dan kebahagiaan (Safety and
Happiness) serta melindungi dari kekuasaan despotis yang absolut, maka
rakyat mempunyai hak atau kewajiban untuk melakukan revolusi
menyingkirkan pemerintah tersebut dan menggantikannya dengan pengawal
keamanan masa depan mereka yang baru (Enclylopedia Americana Vol. 8.
2001 : 592).
Deklarasi yang merupakan ekspresi pemikiran AS
tersebut menjunjung hak-hak tingkat individu dalam kerangka Liberalisme.
Liberalisme muncul akibat dari perkembangan di Eropa pada abad ke-17,
yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Voltaire, Montesquieu,
Rouseau dan John Locke. Liberalisme dalam politik adalah doktrin bahwa
undang-undang, hukum dan politik harus mendukung kebebasan individu
berdasarkan keinginan rasional. Liberalisme berasumsi bahwa setiap
individu adalah rasional, sehingga mempunyai hak untuk menggapai
keinginan-keinginannya dengan menolak peran negara. Dalam ekonomi mereka
dikacaukan dengan laissez-faire, suatu doktrin yang menentang aturan
pemerintah di bidang bisnis. Kebebasan berbisnis yang tiada batas di
dalam keterbatasan sumber daya dan alat pemuas, dengan menjalankan pasar
secara kompetitif, dan pengesahan kepemilikan hak pribadi serta
penguatan kontrak. Faham free enterprise disebut juga sebagai free
private enterprise dan individual enterprise. Secara teroretik, faham
ini menghindari peran negara, namun perlindungan kepemilikan pribadi,
penguatan kontrak dan pencegahan monopoli memerlukan peranan pemerintah.
Ini semua bertentangan dengan gagasan Adam Smith dan para pengikutnya
yang bereaksi terhadap campur tangan pemerintah dalam masalah ekonomi
yang merupakan ciri abad ke-17 dan 18.
Pandangan bahwa individu
selalu bertindak rasional tidak selamanya benar, faktanya banyak
tindakan individu yang tidak rasional dan memerlukan peranan negara
untuk merasionalkannya. Kebebasan berusaha tidak memberikan jaminan
pemerataan distribusi dan pada gilirannya menimbulkan masalah
ketertinggalan sebagian masyarakat dan hanya membuat yang kaya makin
kaya dan yang miskin makin miskin.
b. Manifesto Komunis
Pada
kutub yang lain adalah Manifesto Komunis yang merupakan penjabaran
Marxisme sebagai doktrin sosial ekonomi dan program-program politiknya
(Encyclopedia Americana 2001: 439). Manifesto tersebut ditulis oleh Karl
Marx dan Friedrich Engels pada tahun 1847 dan dipublikasikan di London
tahun berikutnya sebagai Manifest der Kommunistischen Partei atau The
Manifesto of Communist Party.
Manifesto terbagi dalam empat bab.
Bab Pertama menjelaskan tatanan sosial di Eropa sejak peradaban
perbudakan purba. Tatanan itu pada dasarnya berisi sistem dimana kelas
penguasa memperoleh kekuatannya dari penguasaan alat-alat produksi.
Penggunaan kekuasaan oleh kelas penguasa berakibat pada eksploitasi
ekonomi dan pemaksaan politik terhadap rakyat. Perubahan kelas penguasa
terjadi apabila ada penguasaan alat-alat produksi yang lebih besar lagi.
Perjuangan kelas antara bangsawan feodal dan kapitalis akhir abad
pertengahan nampak sebagai dinamika utama dari sejarah masa lalu.
Ekonomi menjadi faktor utama perkembangan politik. Atas dasar itu maka
ilmu pengetahuan dapat memahami dorongan sejarah dan konsepsi yang
realistik dapat dibuat.
Kesimpulan yang didapat adalah bahwa
komunisme dapat dilaksanakan sebagai pranata sosial ekonomi dengan
produktifitas yang tidak terbatas asalkan tidak ada kepemilikan
perorangan pada alat produksi, suatu tatanan tanpa kelas, perjuangan
kelas, eksploitasi dan penindasan. Ketika kepemilikan pribadi kapitalis
dan persaingan menghambat pendekatan produksi secara kolektif, maka
kelas pekerja akan menyatukan diri untuk mengeliminasi sistem kelas.
Pada
Bab Kedua, berisi kelanjutan perkembangan gagasan dalam kerangka
strategi politik, polemik ideologis, dan sikap psikologis. Bab Ketiga
dicurahkan untuk mengkritik aliran-aliran sosialis atau komunis lainnya.
Bab Keempat merupakan suatu komentar singkat tentang kelompok-kelompok
politik pada masa itu.
Komunisme pada dasarnya adalah suatu
istilah umum untuk menggambarkan suatu teori atau sistem organisasi
sosial yang berdasar atas pandangan bahwa semua kepemilikan adalah milik
umum. Secara khusus komunisme dapat dikaitkan dengan doktrin yang
mendorong gerakan revolusioner yang tujuannya adalah menghapuskan
kapitalisme dan akhirnya mendirikan suatu masyarakat di mana
barang-barang dimiliki bersama dan aktifitas ekonomi direncanakan dan
dikontrol secara sosial, sedangkan pendistribusiannya sesuai dengan
kapasitas individu maksimal yang diberikan dan sesuai kebutuhan
masimalnya (from each according to his capacity, to each according to
his needs). Komunisme dibedakan dengan sosialisme dari tujuannya, yang
melalui metode demokratis dan konstitusional menasionalisasi secara
gradual hanya terhadap alat-alat produksi yang esensial dan mengatur
distribusi secara adil pada setiap orang sesuai besaran dan mutu
pekerjaannya (to each person for amount and quality of his or her work).
Somerville
(Encyclopedia Americana vol. 7, 2001:439) mengatakan bahwa beberapa
gagasan manifesto yang dituangkan ke dalam platform partai hanya menarik
sebagai kajian sejarah dan beberapa program politik yang disampaikan
dalam manifesto tersebut ketinggalan zaman. Dua puluh lima tahun
kemudian Marx melihat perkembangan sistem demokrasi parlementer bahwa
tujuan-tujuan buruh dapat dicapai melalui parlemen, bahkan untuk
perubahan radikal sekalipun.
4. Ideologi Alternatif
Menyadari
akan karakteristik gagasan dari Thomas Jefferson dan kawan-kawan serta
Marx dan Engels tersebut, serta pertentangan di antara keduanya yang
berujung pada ancaman akan terganggunya perdamaian dunia, maka upaya
untuk menggali gagasan filosofis dan ideologis yang dapat mewakili
milyaran manusia di seantero Asia Afrika menjadi relevan dan memiliki
dasar epistemolgis, ontologis dan axiologis.
Memasuki millenium
ketiga, polarisasi Timur dan Barat berganti menjadi polarisasi kaya dan
miskin, juga mungkin polarisasi Barat dan Islam seperti disinyalir
Hutington. Dunia telah memasuki apa yang dinamakan seorang futurolog
Toffler sebagai “Gelombang Ketiga” yang ditandai dengan masyarakat
informasi, era informasi atau era post industrial. Era yang ditandai
dengan munculnya internet pada tahun 1990-an ini sesungguhnya sudah
dimulai sejak tiga dasa warsa sebelumnya.
Fukuyama menandai
periode ini dengan berbagai kondisi sosial yang sangat butuh pada
sebagian besar dunia industri. Kejahatan dan kekacauan sosial mulai
meningkat dan membuat wilayah-wilayah pusat kota dari masyarakat yang
paling makmur di muka bumi hampir-hampir tidak dapat dihuni. Institusi
sosial kekerabatan menurun tajam. Tingkat kesuburan di sebagian besar
negara Eropa dan Jepang begitu rendah sehingga masyarakatnya akan
mengalami depopulasi pada abad mendatang; perkawinan dan kelahiran yang
semakin sedikit; perceraian meningkat dan anak yang lahir di luar nikah
terjadi dalam satu dari tiga anak yang dilahirkan di AS dan lebih dari
separo anak di Skandinavia. Akhirnya, kepercayaan terhadap
lembaga-lembaga mengalami penurunan. Sifat dan keterlibatan masyarakat
satu dengan lainnya pun telah mengalami perubahan.
Perubahan-perubahan
yang drastis terjadi secara bersamaan itu oleh Fukuyama dianggap
sebagai penyebab munculnya Great Disruption (Kekacauan Besar) dalam
nilai-nilai sosial yang berlaku pada masyarakat era industri di
pertengahan abad ke-20.
5. Pancasila
Solusi gagasan apakah
yang diberikan oleh Indonesia terhadap dunia dengan kekacauan besar
semacam itu ? Apa sajakah pokok-pokok pikiran dalam gagasan alternatif
yang dinamakan Pancasila itu. Dalam forum Sidang Majelis Umum PBB
tanggal 30 September 1960 Sukarno menyampaikan pokok-pokok pikirannya.
Pertama
: Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia meliputi orang-orang yang
menganut berbagai macam agama, meskipun demikian 85% dari sembilan puluh
juta rakyat beragama Islam. Berpangkal pada kenyataan inilah maka
Ketuhanan Yang Maha Esa ditempatkan sebagai yang paling utama dalam
falsafah hidup bangsa. Tidak seorangpun yang menerima Declaration of
Indepedence, begitu pula pengikut Manifesto Komunis dalam forum PBB
menyangkal adanya Yang Maha Kuasa.
Kedua : Nasionalisme merupakan
kekuatan yang membakar untuk mencapai kemerdekaan dan mempertahankan
hidup selama masa perjuangan melawan penjajah bahkan setelah merdeka.
Namun nasionalisme bukanlah Chauvinisme, yang mengangap bangsa sendiri
lebih unggul dari bangsa-bangsa lain. Bangsa Indonesia tidak memaksakan
kehendak kepada bangsa-bangsa lain. Nasionalisme adalah gerakan
pembebasan, suatu gerakan protes terhadap imperialisme dan kolonialisme.
Inti sosial nasionalisme adalah untuk mencapai keadilan dan kemakmuran.
Oleh karena itu nasionalisme menolak imperialisme.
Ketiga:
Internasionalisme. Antara nasionalisme dan internasionalisme tidak ada
perselisihan dan pertentangan. Internasionalisme tidak dapat tumbuh dan
berkembang selain diatas tanah subur nasionalime. Itu dibuktikan dengan
adanya organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Internasionalisme bukanlah
kosmopolitanisme yang merupakan penyangkalan terhadap nasionalisme.
Internasionalisme
yang sejati adalah pernyataan dari nasionalisme yang sejati, dimana
setiap bangsa menghargai hak-hak semua bangsa, baik yang besar maupun
yang kecil, yang lama maupun yang baru. Internasionalisme merupakan
suatu tanda bahwa suatu bangsa telah menjadi dewasa dan
bertanggungjawab, telah menginggalkan sifat kekanak-kanakan mengenai
rasa keunggulan nasional atau rasial.
Internasionalisme tidak
mengizinkan PBB dijadikan sebagai forum untuk tujuan-tujuan nasional
yang sempit, tujuan golongan atau tujuan mencari keuntungan maupun
prestige nasional.
Keempat:Demokrasi bukanlah monopoli atau
penemuan dari aturan sosial Barat. Demokrasi merupakan keadaan asli
manusia, meskipun bersifat kondisional. Demokrasi mengandung tiga unsur
pokok. Mufakat atau kebulatan pendapat, Perwakilan dan Musyawarah,
sehingga tidak terdapat mayoritas maupun minoritas.
Kelima :
Keadilan Sosial. Pada keadilan sosial dirangkaikan kemakmuran sosial,
karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Hanya masyarakat yang makmur
dapat merupakan masyarakat yang adil, meskipun kemakmuran itu sendiri
bisa bersemayam dalam ketidak-adilan sosial. Menerima prinsip keadilan
sosial berarti menolak kolonialisme dan imperialisme. Ini berarti usaha
yang tegas dan terpadu untuk mengakhiri banyak dari kejahatan-kejahatan
sosial yang menyusahkan dunia. Ada pengakuan praktis bahwa semua orang
adalah saudara dan bahwa semua orang mempunyai tanggungjawab bersama.
a. Dimensi Moral
Rumusan
Pancasila tersebut secara material memuat nilai-nilai dasar manusiawi,
yaitu nilai yang pada dasarnya dimiliki oleh setiap manusia, sesuai
dengan kodratnya sebagai manusia, sesuai dengan kecenderungan manusia
sebagai manusia (Wahana, 1993:73). Karena sifatnya tersebut Pancasila
dapat dikatakan merupakan suatu bonum honestum (nilai yang patut dikejar
dan dihormati karena dirinya sendiri), bukan yang sekedar bonum utile
(nilai kegunaan) atau bonum delectable (nilai yang menyenangkan
keinginan dan dapat dinikmati). Sebagai bonum honestum, Pancasila
merupakan suatu nilai moral yang bersifat total, tidak seperti
nilai-nilai yang bersifat partikular. Nilai moral menyampaikan suatu
tuntunan kepada person sebagai totalitas, maka wajib untuk diberi
prioritas diatas semua nila partikular. Tindakan yang dilakukan untuk
mewujudkan nilai moral tersebut dapat disebut bernilai.
Moral
(morale) berarti tata cara hidup, moral mengacu pada perilaku yang
diharapkan. Menurut Lieebert, esensi moral adalah interpersonal
relationship and transaction (Djahiri, 1992;6). Sedangkan menurut
Piaget, morality is attitude of respect for persons and for the ruler
(Duska & Whelan, 1977:8). Pengertian lain diberikan oleh Bull
(1963;3) yang mengatakan bahwa moral berkaitan dengan “code of conduct
in society” dan “the pursuit of the good life”.
Otonomi moral
Otonomi
moral merupakan istilah yang dirumuskan Kant (Bagus, 2002:766). Kant
membedakan istilah otonomi dan heteronomi moral. Heteronomi moral
berarti sikap moral di mana orang melaksanakan kewajiban bukan
berdasarkan keinsafan tetapi berdasarkan rasa takut, tertekan, takut
berdosa. Orang yang demikian hidup sesuai dengan tuntutan lingkungannya,
bukan berdasarkan kesadaran, tetapi karena takut ditegur, dimarahi,
takut berdosa. Sikap ini terwujud dalam hubungan dengan orang tua, dalam
sikap terhadap seksualitas, dalam ketaatan terhadap tuntutan agama. Ini
suatu penyimpangan dari sikap moral yang sebenarnya.
Pernyataan
sikap moral yang sebenarnya ialah otonomi moral, yang berarti orang taat
dan menjalankan kewajibannya karena ia sadar dan insyaf. Tetapi tidak
berarti suatu sikap menutup diri. Dalam otonomi moral kita diminta untuk
rendah hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di
dalamnya. Otonomi menempatkan inti moralitas dalam sikap batin.
Otonomi
moral yang mendasarkan pada otoritas individu untuk melakukan
pertimbangan dan tindakan moral telah menjadi alasan bagi adanya gerakan
anti pendidikan moral (Chazan,1985:9). Para penganjur gerakan anti
pendidikan moral mendasarkan argumennya pada beberapa alasan yang
bersifat epistemologis karena pendidikan moral diasumsikan sebagai
spekulatif tidak ilmiah, tidak alamiah (”assumes that moral education is
wrong because of the speculative, non scientific, non agreed upon
nature of the contents it comes on the young”); individualis karena
asumsi bahwa manusia adalah unik (”he assumptions is that there is a
unique human sphere”); sosialis karena pendidikan moral biasanya
diajarkan di sekolah borjuis (”a criticism of moral education as
generally practiced in contemporary bourgeous schools”); empririkal
evaluatif (”that moral education…is simply not attainable in schools “)
dan struktural karena sekolah dianggap manipulatif (”that schools, by
the very nature of their nature, have been proven to institutions of
manipulations and imposition”). Berbeda dengan pandangan-pandangan
tersebut Durkheim justru menambahkan elemen moral dengan aspek disiplin
yaitu “regularity of the conduct and authority” dan berpandangan bahwa
“morality begins with membership of a group; it is not related to an act
which has individual interest (alone)” .
Abdulgani (1964:62)
memaknai Moral Pancasila dalam arti kata normatif yakni faktor yang
mengharuskan manusia dalam tingkah laku kita sehari-hari, baik sebagai
pemegang kekuasaan, maupun sebagai rakyat biasa. Dengan moral Pancasila
manusia selalu bersedia mempertanggungjawabkan tingkah laku dan sikap
tindakan tersebut kepada Tuhan Yang MahaEsa; selalu menempuh cara-cara
perikemausiaan dan mengutamakan jalan musyawarah dan mufakat; dan selalu
memusatkan daya-upaya kepada terlaksananya kebahagiaan dan keadilan di
bidang rohani dan jasmani, untuk kebesaran dan kejayaan jiwa Bangsa
Indonesia.
Peneliti berpendapat bahwa Moral Pancasila sebagaimana
diungkapkan Abdulgani, secara psikologis dapat dikategorikan sebagai
sumber perilaku altruistik dalam pengembangan kepribadian. Staub (1978)
mengartikan altruisme sebagai ” an act that is intended solely in
benefit to another person or group and which provides no material
benefit to person who commits it”. Perilaku altruistik hanya mungkin
muncul dari suatu proses pembiasaan melalui pembelajaran budaya
(cultural-learning). Mussen dan Eisenberg-Berg (1977) mengatakan bahwa
yang diwarisi manusia adalah potensi atau kemungkinan mempelajari
berbagai perilaku sosial. Tapi apa yang benar-benar dipelajari
tergantung pada situasi sosial. Perilaku altruistik dan penyesuaian
sosial merupakan produk dari social learning dan bukan merupakan evolusi
biologis. Evolusi sosial berdasar pada mekanisme psikologis dan sosial,
bukan pada faktor genetik (Phares, 1984:558). Mengapa manusia dapat
mengembangkan suatu moralitas altruistik, dijawab secara berbeda-beda
oleh para ahli. Pandangan yang dinamis dari psikoanalisa, mengatakan
bahwa hal tersebut berkaitan dengan tahap-tahap perkembangan
psikoseksual. Piaget berpandangan bahwa penilaian moral sebagai
pengejawantahan kematangan proses perkembangan kognitif. Nyaris
berpandangan sama, Kohlberg percaya bahwa penilaian moral seseorang
muncul melalui beberapa tahap universal pada semua kebudayaan.
Pemahaman
perkembangan moral dalam konteks psikologis demikian nampaknya belum
menjadi acuan sehingga proses penyadaran akan perlunya disiplin
tersandera pada tata tertib yang artifisial. Sebagai contoh pada sebuah
penyelenggaraan diklat sebelum pemilu 2004 kepada peserta dilakukan uji
air kemih untuk mendeteksi adanya siswa yang menggunakan narkoba melalui
Tes Urine yang diselenggarakan sebuah laboratorium kesehatan. Pada saat
itu memang gencar sekali media massa memberitakan mengenai para anggota
lembaga legislatif yang terjerumus sebagai pengguna narkoba dan
perilaku menyimpang lainnya.
Kebutuhan akan disiplin terutama bagi
para pejabat maupun politisi sangatlah mendesak karena seperti
dikatakan Padmadinata bahwa di atas demokrasi yang diperlukan Indonesia
saat ini adalah disiplin.Disiplin yang dimaksudkannya adalah disiplin
diri termasuk etika politik di dalamnya, terutama bagi kalangan elite.
Selanjutnya dikatakan bahwa bukan hanya dari negarawan saja dituntut
adanya rasa tanggungjawab publik melainkan juga dari para politisi.
Kegagalan untuk berperilaku etis ini menyebabkan reformasi menjadi
deformasi (PR, 27 Januari 2007).
Pembentukan disiplin melalui
pendidikan moral haruslah dilakukan melalui proses pembiasaan
(habituasi). Pendidikan melalui kebiasaan merupakan salah satu metode
yang dianjurkan Quthb (Sistem Pendidikan Islam, 1988: 363).
Metodologi
pembiasaan tentunya memerlukan waktu yang lama untuk ditanamkan pada
pribadi seseorang. Kaderisasi yang hanya beberapa hari tentunya tidak
dapat secara optimal menginternalisasikan nilai-nilai pada diri
seseorang. Apalagi siswa adalah orang orang dewasa yang telah memiliki
nilai yang melekat pada dirinya. Kursus kader dengan demikian hanya
mampu untuk mengingatkan pada siswa tentang nilai falsafah, ideologi
maupun moral yang sesuai dengan kepribadian sebagai kader dan
menunjukkan nilai-nilai yang dianggap tidak sesuai atau bertentangan
dengan kepribadian seorang kader. Pendidikan instant semacam ini
dikritik oleh Rendra (2000:41), tetapi tidak ada yang salah dengan
indoktrinasi karena bagi Durkheim pendidikan adalah indoktrinasi.
Menurut al Ghazali dalam Ihya Ullumudin (Hawa, 2004: 23) jiwa muda dapat
diindoktrinasi. Masalahnya adalah bagaimana indoktrinasi tersebut dapat
menyadarkan jiwa agar manusia yang memiliki hati yang sudah membatu
atau membeku sehingga nilai-nilai apapun yang diberikan mantul, berubah
menjadi hati yang rindu pada Kebenaran (Dahlan,1993:55).
b. Dimensi Ideologis
Selain
sebagai nilai moral, Pancasila merupakan suatu ideologi (science of
ideas atau weltaanschaung) yang dapat bersifat dogmatik. Ideologi
merupakan sistem pemikiran yang besifat power oriented, totalitarianism
oriented, dogmatism oriented dan establishment oriented. Sebagai
ideologi yang dapat diterima semua orang, berarti Pancasila merupakan
ideologi yang bersifat terbuka. Sebagai ideologi Pancasila memiliki
dimensi-dimensi : (a) Realitas : yaitu pemahaman situasi sosial yang
sedang dihadapi sebagai masa lampau; (b) idealisme : yaitu usaha memberi
gambaran situasi sosial baru yang ingin diciptakan; (c) fleksibilitas :
yaitu penyusunan program umum yang kondisional dan situasional yang
menggariskan langkah-langkah untuk mencapai situasi yang baru yang
dikehendakinya (Wahana 1993:86).
Epistemologi Ideologi
Untuk
memahami perekembangan ideologi kebangsaan (nasionalisme) perlu kiranya
dilakukan kajian filosofis untuk memahami posisinya dalam kehidupan
berbangsa dan pengaruhnya terhadap pengembangan kepribadian nasional
kader .
Secara epistemologis, sejarah perkembangan filsafat pada
periode modern (1500-1800) dibagi dalam tiga babak (Pranarka, 1987:161) :
masa modern awal yakni masa antara Descartes sampai Kant; modern
tengahan atau zaman aufklarung (the enlightenment) yakni masa antara
Immanuel Kant sampai Hegel dan zaman modern akhir yakni zaman idealisme
dan positivisme. Masa aufklarung atau pencerahan itulah yang dikenal
dengan the age of ideology. Patriotisme, nasionalisme, liberalisme dan
sosialisme merupakan ideologi-ideologi yang dominan.
Ideologi
muncul karena wawasan gerakan aufklarung yang bercita-cita mengubah
masyarakat, menguasai dunia dan membangun dunia. Wawasan itulah yang
mengubah fungsi ilmu dari statis eksplikatif untuk mengetahui menjadi
dinamik pragmatik, yaitu untuk mengubah, menguasai dan membangun. Jadi
tujuan ilmu adalah mengubah masyarakat Selain itu ilmu tumbuh semakin
majemuk terutama yang berkenaan dengan pandangan-pandangan mengenai
manusia, dunia, masyarakat, moral, politik, Negara dan hukum. Hal itu
mendorong tumbuhnya keinginan membangun science of ideas, yaitu ilmu
yang memuat pandangan-pandangan dari aliran-aliran pemikiran besar yang
ada.
Seperti halnya ilmu pengetahuan yang terus berkembang,
ideologi sebagai ilmu mengenai gagasan-gagasan pun terus berkembang
mengikuti pandangan manusia terhadap kehidupan dan permasalahannya yang
memerlukan jawaban.
—————————————————————
Perkembangan Ideologi
—————————————————————-
Karakteristik
1. PeriodeKuno (600 SM – 300 M)
Terbaur dengan agama, filsafat, theologi :
§ Ideologi Athena, Sparta, Romawi Kuno
§ Ideologi politheis
§ Ideologi monotheis
§ Ideologi kosmologis
Fokus initi:
Sumber kekuasaan, kekuatan, legitimasi, kedaulatan
2. Periode Pertengahan (300 M – 1500 M)
Terbaur dengan agama, filsafat, theologi:
§ ideologi intelektualis (pengetahuan)
§ ideologi voluntaristik
§ ideologi tata semesta
§ ideologi kebersamaan
§ ideologi moralistik
§ agama sebagai sumber kekuasaaan,
§ kekuatan, legitimasi, dan kedaulatan
-
3. Periode Modern(1500 M – 1800 M)
Ideologi tampil sebagai sistem pengetahuan
“sui juris” dan eksplisit – terbaur dengan
Aufklarung dan filsafat modern:
§ ideologi non dan anti keagamaan (sekuler)
§ ideologi atheis
§ ideologi keagamaan
§ ideologi kemajuan
§ ideologi kemanusiaan
§ ideologi penaklukan/kekuatan
§ ideologi perang
§ ideologi damai
§ ideologi kebebasan individualisme,
liberalisme, evolusionisme, rasionalisme,
naturalisme, idealisme, positivisme,
nasionalisme, kapitalisme, sosialisme,
demokrasi, republic, kolonialisme,
imperialisme, komunisme
4. Periode Kontemporer(Akhir 1800 M – sekarang) yang dapat dibagi menjadi :
a) periode sebelum Perang Dunia II;
b) periode sesudah Perang Dunia II:
sampai tahun 1960-an;
tahun 1960-an, tahun 1970-an, tahun 1980-an
-
Reaksi terhadap intelektualisme dan determinisme,
tetapi belum menemukan ideologi baru yang kuat :
§ anti determinisme
§ anti sistem
§ eksistensialisme
§ humanisme
§ Neo marxisme
§ Freudianisme
§ ilmu sebagai ideologi
§ teknologi sebagai ideologi
§ ideologi Negara-negara
berkembang
§ ideologi Negara-negara maju
§ dependensia
§ strukturalisme
§ ideologi-ideologi keagamaam
§ perkembangan lebih lanjut dari kapitalisme liberal dan sosialisme
Berbaur dengan ilmu, filsafat, theologi, teknologi,
ekonomi dan politik
Ideologi-ideologi
cenderung untuk memberikan jawaban terhadap masalah-masalah mendasar
seperti misalnya arah sejarah dan kebudayaan. Pada sisi lain ideologi
mengemukakan dalil-dalil normatif untuk membangun dan menata dunia,
masyarakat, sejarah dan kebudayaan. Perkembangan ideologi yang mengacu
pada esensi bahwa ideologi adalah kekuatan menumbuhkan
pemikiran-pemikiran ideologikal seperti nampak pada facisme dan
nasional-sosialisme (Nazi). Suasana seperti itulah yang menciptakan
iklim yang menegangkan sehingga memicu terjadinya Perang Dunia I dan II .
Perkembangan
ideologi seperti itulah yang membuat nasionalisme atau faham kebangsaan
dicurigai di Indonesia. Soekarno, Hatta dan the founding fathers
lainnya harus bersusah payah menjelaskan dan mengembangkan nasionalisme.
Faham nasionalisme menghadapi kritik dari faham keagamaan. Dialektika
antara kedua faham itu dapat ditelusuri dari perdebatan Soekarno dengan
Hasan (Persis), Soekarno dengan Agus Salim dan Soekarno dengan Natsir.
Kendatipun pergulatan wacana filosofis antara ideologi nasionalisme,
keagamaan dan determinasi ekonomi (sosialisme) telah bertemu dalam
common platform Pancasila, akan tetapi tidak berarti bahwa pergulatan
pada tataran pemikiran ideologik sudah berhenti.
c. Dimensi sejarah
Penanaman
jiwa kebangsaan pada kader perlu dimulai dengan memahami arti
kemerdekaan Indonesia sebagai suatu revolusi nasional. Revolusi adalah ”
eine Umwertung aller Werte” (penjungkirbalikan dari tata nilai yang
lapuk untuk diganti dengan yang baru dan “Umgestatltung von grundaus”
(suatu perombakan dari akar-akarnya”). Musuh revolusi adalah
imperialisme dan kolonialisme. Banyak revolusi di dunia ini, contohnya
adalah revolusi kemerdekaan Amerika (1776), revolusi kaum menengah di
Perancis (1789), Revolusi proletar di Rusia (1905-1917), Revolusi Turki
Kemal Attaturk (1908-1923), Revolusi Tiongkok (1911) dan Revolusi Islam
di Iran.
Revolusi Indonesia memiliki tiga segi kerangka tujuan :
di bidang politik, suatu Negara Kesatuan dan Negara Kebangsaan Republik
yang demokratis dari Sabang sampai Merauke. Di bidang sosial, suatu
masyarakat yang adil dan makmur, yaitu adil dan makmur badaniyah dan
rohaniyah, atau dengan lain perkataan, masyarakat sosialis Indonesia. Di
bidang internasional, persahabatan dan perdamaian dunia, terutama
sekali dengan Asia Afrika, untuk membentuk dunia baru bersih dari
imperialisme dan kolonialisme.
Kebudayaan
Kebudayaan
dapat mempengaruhi karakter. Menurut Spranger (Sujanto, Lubis, Hadi,
1984:45), kehidupan manusia dipengaruhi oleh dua macam kehidupan
jiwanya, jiwa subyektif yaitu jiwa tiap-tiap orang dan jiwa obyektif
yaitu nilai-nilai kebudayaan yang berpengaruh pada jiwa subyektif.
Manusia dapat dibedakan atas enam nilai kebudayaan, yaitu Ekonomi,
Politik, Sosial, Ilmu pengetahuan, Kesenian dan Agama. Pengaruh dari
enam nilai kebudayaan menghasilkan enam tipe manusia : manusia ekonomi
(senang bekerja, senang mengumpulkan harta, agak kikir, bangga dengan
hartanya), manusia politik (ingin berkuasa, tidak ingin kaya, berusaha
menguasai orang lain, kurang mencintai kebenaran), manusia sosial
(senang berkorban, senang mengabdi kepada Tuhan, mencintai masyarakat,
pandai bergaul); manusia pengetahuan (senang membaca, gemar berfikir dan
belajar, tidak ingin kaya, ingin serba tahu); manusia seni (hidup
bersahaja, senang menikmati keindahan, gemar mencipta, mudah bergaul
dengan siapa saja); manusia agama (hidupnya hanya untuk Tuhan dan
akhirat, senang memuja, kurang senang harta, senang menolong orang lain)
.
Karakter dipengaruhi oleh faktor jasmaniah dan faktor
rohaniyah. Faktor jasmaniah mempengaruhi karakter dan karakter
mengekspresikan diri dalam tingkah laku jasmaniah (Sujanto dkk.,
1984:19). Karena karakter dipengaruhi faktor-faktor rohaniyah, jasmaniah
dan lingkungan maka karakter berkaitan dengan agama, budaya,
nilai-nilai tradisi, hukum serta ilmu pengetahuan yang menjadi landasan
pembentukan karakter.
Proses pembentukan karakter bangsa karena
faktor-faktor budaya seperti itu oleh Catell (Phares, 1984:251)
dinamakan syntality yaitu the ways in which individuals develop are also
greatly influenced by the groups to which they belong. Faktor-faktor
yang membedakan karaktreristik bangsa adalah jumlah (size), kerajinan
(affluence),dan ketekunan (industriousness).
Syntalitas membuat
karakter satu bangsa berbeda dengan bangsa yang lain.Karakter bangsa
yang dibentuk oleh syntalitas tersebut membentuk suatu kepribadian yang
khas baik secara individual maupun kolektif bangsa. Salah satu kriteria
kepribadian Indonesia ditawarkan oleh Soekarno (Pidato ketika membuka
Kongres Pemuda seluruh Indonesia di Kota Bandung, Februari 1960).
“Hari
depan Revolusi kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
wadah berisikan masyarakat adil dan makmur; atau lebih jelas lagi ialah
Negara Pancasila, yang berisikan masyarakat sosialis, berdasarkan ajaran
Pancasila itu, yaitu sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi
yang terdapat di Indonesia, dengan Rakyat Indonesia, dengan
adat-istiadat, watak-wataknya dengan psikologi dan kebudayan Rakyat
Indonesia.”
Kepribadian Nasional
Kepribadian nasional
merupakan istilah yang banyak diperselisihkan (”national identity is
often disputed”) bahkan Abdalla (2007) dari Jaringan Islam Liberal
menganggapnya sebagai isu berbahaya, contradictio in terminis bagi
agenda demokrasi dan reformasi . Di sisi lain banyak yang mengeluhkan
“kepribadian nasional mulai luntur”. Rex, John (2007) peneliti pada
Center for Research in Ethnic Relations, University of Warwick, mengakui
bahwa “there is a crisis of national identity in the advanced welfare
states of Western Europe following post war immigration”. Di sisi lain
NPR (2007) dalam releasenya “Exploring America’s National Identity”
mengatakan bahwa “nearly two thirds of Americans say our culture and
values change as new people” yang mengindikasikan terbentuknya
kepribadian nasional di AS. Modood, Tariq (2007) bahkan menyatakan
merusak kepribadian nasional dapat mengancam multikulturalisme.
Di
Indonesia istilah kepribadian nasional dikemukakan oleh Soekarno ketika
mengemukakan mengenai manifesto politiknya yang disingkat USDEK
(Undang-undang Dasar 1945, Sosialime Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin yang semua itu dinamakan : Kepribadian Nasional).
Mukti Ali (1971) mengaitkan dengan etika agama dalam pembentukan
kepribadian nasional dan pemberantasan kemaksiatan.
Penulis
berpandangan bahwa Kepribadian Nasional adalah karakteristik yang
dimiliki suatu bangsa sebagai perwujudan dari cita-cita, pengalaman
sejarah dan budayanya.
Nilai-nilai filosofis untuk membangun
karakter bangsa dan kepribadian nasional tentu sangatlah diperlukan
dalam era globalisasi. Untuk itu maka nilai-nilai tersebut harus
dikenal, diterima, diinternalisasi, diaplikasi dan diproyeksikan dalam
hubungan antar manusia. Proses tersebut adalah proses pembiasaan atau
habituasi. Salah satu sarana untuk melakukan pembiasaan adalah dalam
interaksi antar kader.
6. Kebangsaan
Pemahaman mengenai
posisi Pancasila dari berbagai prespektif tersebut diperlukan agar
penanaman rasa kebangsaan benar-benar sesuai dengan yang diharapkan
dalam kerangka menghadapi globalisasi. Kebangsaan setidaknya memiliki
dimensi pemahaman, cita-cita dan tindakan. Pada tataran pemahaman ia
berisi faham untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan memberikan energi
untuk mempertahankan kelangsungan hidup, pada tataran cita-cita ia
mendorong berbuat secara efektif untuk kepentingan bangsa dan dunia
serta pada tataran tindakan ia mengarahkan perilaku yang sesuai dengan
kepentingan dan kepribadian bangsa.
a. Perkembangan Nasionalisme
Nasionalisme
(faham kebangsaan) tidak dapat dilepaskan dari nation (bangsa), yaitu
sejumlah orang yang memandang diri mereka sebagai komunitas atau
kelompok dan memberikan kesetiaan kepada kelompok di atas kepentingan
lainnya. Mereka biasanya memiliki bahasa, budaya, agama, politik dan
lembaga-lembaga serta sejarah di mana mereka mengidentifikasikan diri,
juga percaya bahwa mereka mengalami persamaan nasib. Mereka biasanya
mendiami suatu wilayah tertentu. Adapun faktor-faktor yang mendukung
terbentuknya suatu bangsa adalah bahasa, ras, geografi dan
lembaga-lembaga politik.
Orang-orang yang membentuk suatu bangsa
biasanya mengembangkan nasionalisme. Jika bangsa tersebut mencapai
status negara-bangsa (nation-state), mereka mengembangkan suatu kerangka
politik yang melindungi penduduk dan membangun lembaga-lembaga negara.
Dalam membangun nasionalisme, penduduk mengesampingkan kepentingan
pribadinya untuk disumbangkan bagi kemerdekaan, harga diri, kemakmuran
dan kekuatan negara.
Langkah awal pembentukan bangsa dimulai dari
pembentukan suku-suku pada masa purba. Pada masa itu perjuangan untuk
menguatkan dan meluaskan kelompok berjalan dengan intensif. Ikatan utama
mereka adalah pertalian darah. Rasa cinta pada tempat tinggal belum ada
ketika itu.
Patriotisme (berasal dari la patrie = fatherland)
lahir seiring dengan munculnya negara-kota (city-states) awal. Untuk
alasan ekonomi dan pertahanan, penduduk mulai mengelompokan diri dalam
beberapa titik strategis. Contohnya adalah Athena yang mengembangkan
suatu perasaan solidaritas kelompok yang kuat, warganya merasa sebagai
pribumi, dengan budaya yang khas dan persamaan nasib.
Ketika
negara-kota saling berkonflik satu sama lain, salah satu dari mereka
menguasai yang lain. Contoh suksesnya adalah Roma yang kemudian
mengembangkan semangat nasional, ketika kemenangannya di medan perang
memperluas perdagangan negara itu. Meskipun hanya sedikit dari wilayah
yang ditaklukan itu yang benar-benar loyal.
Di abad pertengahan
national-building boleh dikata tidak ada. Kekuasaan politik di tangan
kaum feodal tidak memungkinkan tumbuhnya solidaritas di kalangan
penduduk. Baru setelah para pedagang kelas menengah tumbuh, mereka mulai
mengorganisir diri untuk mengalahkan kaum anarkhi dan sistem feodal.
Sedangkan konsolidasi kekuatan oleh raja dimulai di Inggris baru
kemudian Perancis, yang memulainya dari pusat. Di pertengahan abad
ke-18, negara nasional muncul di hampir seluruh Eropa.
Pada abad
ke-18 filsuf Perancis Jean Jacques Rousseeau menekankan nilai dari
persatuan massa yang menyatakan diri untuk mencapai tujuan bersama
menjadi kebijakan seluruh orang. Hukum harus dibuat oleh rakyat, bukan
oleh kerajaan. Doktrin Rousseau tentang kedaulatan rakyat, kemerdekaan
individu, persamaan sosial dan persaudaraan (liberte, egalite,
fraternite) diikuti oleh para pemimpin Revolusi Perancis.
Trauma
terhadap Revolusi Industri, negara-negara Eropa melakukan penjajahan
untuk menjamin pasokan bahan baku. Untuk kebutuhan memperoleh tenaga
kerja mereka melakukan politik etis terhadap negara jajahan yang pada
gilirannya meningkatkan taraf hidup pribumi dan memunculkan kesadaran
untuk merdeka. Negara-bangsa memunculan di tanah jajahan terutama
setelah Perang Dunia II. Keanggotaan PBB meningkat 50 pada tahun 1945
menjadi 190 pada tahun 1990-an.
Munculnya negara bangsa yang baru
merdeka melahirkan wacana tentang kepribadian bangsa, seperti tampak
pada pada pandangan Sukarno tentang Trisakti yaitu berdaulat dalam
politik; berdikari dalam ekonomi; dan berkepribadian dalam kebudayaan
(Isak, ed. 2001:160). Keinginan tersebut merupakan suatu hal yang
realistis karena meskipun sudah banyak negara-negara yang merdeka sejak
tahun 1945, namun negara-negara tersebut masih berkutat dengan masalah
kehidupan yang paling elementer seperti penyediaan pangan, papan,
kesehatan dan pendidikan. Itu semua menunjukan bahwa kemerdekaan politik
saja tidak cukup, melainkan harus dibarengi dengan kemandiriaan ekonomi
dan kemampuan mengembangkan kebudayaan dengan tata nilainya sendiri.
b. Penanaman Jiwa Kebangsaan
Penanaman
jiwa nasionalisme diharapkan untuk mencapai dua aspek, yakni aspek
moral dengan terwujudnya komitmen, dan aspek intelektual dengan
terwujudnya pengetahuan yang memadai mengenai nasionalisme dengan segala
tantangannya di era globalisasi. Di samping itu pembinaan tersebut
mampu memperkuat daya kognitif, afektif dan konatif. Dengan demikian
diharapkan didapat pengetahuan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi,
yang tampak dalam pola pikir, sikap maupun tindakan.
Pembinaan
nasionalisme dapat menggunakan lembaga peribadatan, organisasi sosial
kemasyarakatan, pers dan media masa lainnya, kursus, lembaga diskusi,
serta jalan yang tidak melembaga seperti pergaulan sehari-hari, tempat
rekreasi, pariwisata dan pelayanan umum (Kansil, 1986:228). Pada
organisasi sosial politik, kursus yang dilakukan biasanya berbentuk
kaderisasi.
Menurut Sulaeman (1998), kaderisasi mengandung
pengertian suatu usaha orang dewasa dalam mewariskan nilai-nilai kepada
generasi muda agar mereka mampu menjadi pengganti atau penerus di masa
yang akan datang. Pada hakikatnya pendidikan pun mengandung unsur
kaderisasi, sebab di dalamnya ada kegiatan transfer of knowledge and
values.
Di dalam partai, kaderisasi memerlukan pendekatan
andragogi, mengingat peserta didik sudah dapat dikatagorikan sebagai
manusia dewasa (17 tahun ke atas). Andragogi berasal dari perpaduan dua
akar kata bahasa Yunani, yakni “andra” yang berarti orang dewasa dan
“agogos” yang berarti memimpin. Andragogi berarti “ilmu dan cara
membantu orang dewasa untuk belajar”. Istilah ini digunakan Alexander
Klapp pada akhir abad 19, dalam upaya untuk menjelaskan konsep dasar
teori pendidikan dari Plato (Widada, 2002: 1).
Andragogi dapat
dilihat sebagai pendekatan atau metoda, dapat pula dilihat sebagai
sistem. Sebagai pendekatan atau metode, andragogi berkaitan dengan
proses belajar/mengajar yang seharusnya terjadi di lingkungan pelajar
dewasa. Sedangkan sebagai sistem, andragogi sebagaimana paedagogi,
memiliki komponen sistem yang lengkap seperti tujuan, kurikulum, guru,
murid dan sebagainya. Institusionalisasi paedagogi pada umumnya berwujud
dalam sistem persekolahan, sedangkan institusionalisasi andragogi pada
umumnya terealisasi dalam latihan, kursus, santiaji, refereshing, up
grading dan sebagainya.
7. Kepribadian Kader
Menurut
Megawati bahwa tujuan pelaksanaan kaderisasi adalah “untuk menghasilkan
kader-kader yang memiliki tradisi intelektual dan kenegarawanan”. Oleh
karena itu kader diharapkan memiliki 4 hal pokok sebagai berikut:
Setiap
kader Partai harus memiliki pengertian dan kesadaran ideologi yang
tinggi. Tidak pernah ada partai bangsa yang survive tanpa ideologi,
karena ideologilah yang memberikan cita-cita, arah dan harapan kehidupan
masa depan bangsa. Lebih penting lagi ideologi adalah fondasi Partai
dan Negara.
Setiap kader harus betul-betul punya kesadaran dan
pemahaman politik yang tinggi sebab persoalan politik akan dihadapinya
setiap saat. Dalam keseharian, politik adalah sebuah seni tentang
kemungkinan-kemungkinan seni dalam mengelola sumber-sumber daya politik
secara otoritatif. Politik harus digunakan untuk merealisasikan
nilai-nilai ideologis.
Setiap kader harus memiliki kesadaran
berpartai (berorganisasi, pen) yang tinggi. Untuk diperlukan kemampuan
memahami dan menyepakati aturan main, kepatuhan, disiplin, militansi
dalam memperjuangakan cita-cita.
Setiap kader harus memiliki
kesadaran lingkungan dan sosial yang tinggi agar dapat memperjuangkan
cita-cita kerakyatan dan melaksanakan amanat penderitaan rakyat.
Kesadaran tersebut harus tercermin dalam kehidupan, dalam menentukan
kebijakan, dalam tingkah laku, pergaulan sosial sampai tutur kata.
Kesenjangan antra cita-cita Partai dan tingkah laku sosial kader harus
dihindari.
Kesadaran ideologi yang dmaksud mengacu pada asas,
Pancasila sebagaimana termaktub dalam pembukaan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 sesuai dengan jiwa dan semangat
lahirnya pada 1 Juni 1945; Jati diri : Kebangsaan, Kerakyatan dan
Keadilan Sosial; dan Watak : demokratis, merdeka, pantang menyerah dan
terbuka.
Dalam menghadapi globalisasi kader diharuskan “memajukan
identitas dan kebudayaan nasional” ; “mendorong multikulturalisme’; dan
‘melindungi hak-hak masyarakat adat’ (indegenous people).
Pembinaan
kepribadian yang bertumpu pada penanaman jiwa kebangsaan dapat dirujuk
pada prinsip Panca Dharma dari Ki Hajar Dewantara (1957), yakni
kemanusiaan, kodrat hidup, kebangsaan, kebudayaan, dan
kemerdekaan/kebebasan (Bahrun, 1994:138).
Kader dan Partai
Kader
berasal dari kata “le cadre” (bingkai) adalah orang-orang yang
ditempatkan pada struktural partai dan juga orang orang yang ditempatkan
pada struktural pemerintahan maupun lembaga-lembaga negara lainnya
seperti parlemen (cadre are persons appointed to paid positions in
either the government or party apparatus) . Kader merupakan tenaga inti
penggerak partai. Partai dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa
kategori: partai proto (protoparties) , partai kader, partai massa,
partai diktatorial dan partai kombinasi kader-massa ( catch-all parties)
(Encyclopedia Americana, 2001:337, 491). Kader partai diperlukan pada
semua partai terutama partai kader, partai massa, dan partai kombinasi
kader-massa. Adanya kader juga merupakan prasyarat bagi sebuah partai
modern. Muradi mengutip Satori (PR, 28 Februari 2005) menyatakan bahwa 4
syarat partai modern adalah terbuka, memiliki ideologi demokratis,
regenerasi yang teratur dan sistem pengkaderan yang baik .
Suatu
partai politik memiliki tujuan utama “to place their avowed leaders into
the offices of government” (Encyclopedia Americana, 2001: 337). Dalam
upaya mencapai tujuan untuk menempatkan para pimpinannya ke dalam
lembaga pemerintahan, partai politik melakukan kegiatan yang dapat
diklasifikasikan ke dalam fungsi-fungsi primer, sekunder dan indirect
(tidak langsung).
Fungsi primer partai politik dapat dibagi dalam
dua bagian yaitu “the nominations of candidates for public office” dan
“the mobilization of voters to elect these nominees “. Fungsi sekunder
nya adalah ” influencing the content and conduct of public policy
…pursuing a set of ideological principles… prepair platforms that
prescribe program of public policy” (ibid. 2001) yang tujuannya untuk
menarik dukungan dari para konstituen. Ketika suatu partai politik
menguasai pemerintahan, para pimpinannya biasanya menjadi pengambil
keputusan dalam membuat kebijakan publik. Mereka diharapkan
mengalokasikan sumber-sumber publik bagi konstituen sesuai dengan
kebijakan yang mereka inginkan. Sedangkan fungsi tidak langsungnya
terlihat pada upaya memperkuat nilai-nilai politik masyarakat ke dalam
rasionalitas tindakan dan program mereka. Partai politik juga berupaya
meningkatkan partisipasi politik masyarakat dengan memberi kesadaran
pada masyarakat akan peranan politiknya. Di dalamnya termasuk bagaimana
pemerintahan dijalankan, bagaimana kebijakan publik mempengaruhi hidup
mereka serta cara untuk ikut mengarahkan para pejabat publik.
Untuk
menjalankan fungsi-fungsi yang dalam sistem politik lazimnya disebut
dengan artikulasi, agregasi dan komunikasi kepentingan tersebut, maka
pendidikan politik di kalangan internal dirasakan sebagai suatu
kebutuhan yang mendesak. Terlebih jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa
selama berpuluh-puluh tahun di era floating mass (massa mengambang),
partai politik tidak memiliki kesempatan untuk itu, terutama pada
partai-partai yang tidak sempat memerintah seperti Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Cindy. (2001). Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams. Jakarta: Gunung Agung.
Ali, Abdullah Yusuf. (1994). The Holy Qur-an Text and Translation. Kuala Lumpur : Islamic Book Trust.
Ali,
Mukti. (1971). Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional dan
Pemberantasan Kemaksiatan dari Segi Agama Islam. Yogyakarta: Yayasan
Nida.
Allport, Gordon W. (1937). Personality: A Psychological Interpretation. New York : Holt.
Badiklatpus. (2002). Materi Pengajaran Guru Kader. Jakarta: Badiklatpus.
Bagus, Lorens. (2002). Kamus Filsafat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Bayer, Patricia, et al (ed.). (2004 ). The Encyclopedia Americana International Edition. Danbury, Connecticut: Grolier.
Bachrun. (1994). Pola Pendidikan Moral di Sekolah. Tesis Master pada PPs IKIP Bandung: tidak diterbitkan .
Budiardjo, Miriam. (1981). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia.
Chazan, Barry. (1985) Contemporary Approaches to Moral Education. New York: Teachers College Press.
Departemen Penerangan RI. (1964). Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi. Jakarta: Departemen Penerangan.
Departemen
Pertahanan dan Keamanan RI. (2007). Buletin Litbang Hankam. [Online].
Tersedia :buletinlitbang,dephan.go.id/index.asp. [23 Januari 2008]
Dewantara, Ki Hajar. (1967). Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Perguruan Taman Siswa
Djahiri, A.Kosasih. (1990). Menuju Guru Inkuiri Yang Reaktif. Bandung : Laboratorium Pengajaran PMP UPI.
Durkheim, Emile. (1956). Education and Sociology. — : The Free Press.
Driyarkara, N. (1959). Pancasila dan Religi dalam Seminar Pancasila ke-1. Jakarta: Panitia Seminar Pancasila.
Eatwell, Roger dan Wright, Anthony (ed.). (2004). Ideologi Politik Kontemporer. Yogyakarta: Jendela.
Fukuyama, Frances. (……). The Great Disruption.
Hatta, Mohammad. (1981). Pengertian Pancasila. Jakarta: Yayasan Idayu.
Hawwa, Sa’id. (2004). Mensucikan Jiwa Intisari Ihya’ Ullumuddin al Ghazali Konsep Tajkiyatun Nafs. Jakarta : Rabbani Press..
Huntington, Samuel P. (1999). Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta : Qalam.
Ishak, Joesoef (ed.). (2001). 100 Tahun Bung Karno. Jakarta : Hasta Mitra.
Kagan, Jerome. (1971). Personality Development. New York : Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
Kartono, Kartini. (1980). Teori Kepribadian. Bandung : Alumni.
Kohlberg, L. (1984). Essay in Moral Development, The Psychology of Moral Development Vol. 2. New York: Harper & Crow.
Kohlberg, Laurence. (1995). Tahap-tahap Perkembangan Moral. Yogyakarta : Kanisius.
Mas’oed, Mohtar. (2004). Etnisitas & Politik dalam Seminar di Sinology Center, UMY
Moodod,
Tariq. (1990). Islam and Racism : Does Islam Have Something to Teach
the West. [Online]. atheisme.about.com/b/a/266255.html. (23 Januari
2008)
NPR. (2007). Exploring America’s National Identity. [Online]. Tersedia : www. npr.org/templates/story.php. [23 Januari 2008].
Pranarka, A.W.M. (1987). Epistemologi Dasar. Jakarta : Yayasan Proklamasi dan CSIS.
Quthb, Muhammad. (1998). Sistem Pendidikan Islam. Bandung : PT Alma’ arif.
Rendra. (2000). Rakyat Belum Merdeka Sebuah Paradigma Budaya. Jakarta: Pustaka Firdaus
Rex,
John. (1996). Contemporary Nationalism, Its Causes and Caonsequences
for Europe. [Online]. Tersedia : www.socresonline.org.uk/1/4/rex.html
[23 Januari 2008]
Rogers, Dorothy. (1982). Life-Span Human Development. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company.
Rosyada,
Dede. (2003). Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani.
Jakarta : Prenada Media dan ICCE UIN Syarif Hidayatullah.
Soekarno.
(2000). Membangun Dunia Baru ( To Build The World Anew).Pidato di Muka
Sidang Umum PBB ke XV. Yogyakarta: Media Pressindo.
Soekarno. (2001). Pancasila Sebagai Dasar Negara. Jakarta : PT Toko Buku Gunung Agung Tbk.
Sujanto, Agus et. Al. (ed). (1984). Psikologi Kepribadian. Jakarta : Aksara Baru.
Suprijanto, H. (2007). Pendidikan Orang Dewasa Dari Teori Hingga Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara
Sutoro, R. (….). Hand out Seminar Pancasila 1957 .
Stiglitz, Joseph. (2002). Globalization and Its Discontents. London: Penguin Books.
Tabb, William K. (2003). Tabir Politik Globalisasi. Yogyakarta : Lafadl.
Tilaar, H.A.R. (1997). Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi. Jakarta: Grasindo.
—. (2007). Profil Ulil Abshar-Abdalla. [Online]. Tersedia : Freedominstute.org/id/index.php. [23 Januari 2008].
Surat Kabar
Kompas (4 Agustus 2005; 5 Agustus 2005; 6 Agustus 2005; 21 September 2005; 25 September 2005; 1 Maret 2007; 12 April 2007)
Pikiran Rakyat ( 8 Januari 2003; 28 Februari 2005; 12 Juli 2005; 12 November 2006; 16 November 2006; 27 Januari 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan teman-teman bisa syaring dan memberikan komentar dari tulisan kami..... jika ada coretan yang salah atau kurang tepat bisa disyaringkan disini saya hanya manusia biasa yang baru belajar.. tanks